Kunjungan "Sekali Mendayung Dua Pulau Terlampui"

Selepas zhuhur tadi (Sabtu, 6/1/2018), seorang santri ketuk pintu rumah. Itu tepat ketika saya sedang makan sepiring bersama anak-anak. "Ustadz, ada tamu," lapor si santri setelah salamnya berbalas. Sekilas saya menengok ke kantor. Benar, ada sepasang suami istri di ruang tunggu kantor yang semi terbuka.

"Sebentar, ya." Segera saya mencuci tangan. Hampir tergopoh. Sebab khawatir membuat kesan kurang baik karena membuat tamu merasa menunggu lama.

"Tabe', masuk ki'." Namanya tamu, harus dihormati dan dimuliakan. Begitu Islam mengajarkan.

"Saya mau ketemu anak saya, ustadz." Katanya jelas setelah saya persilahkan menyampaikan maksudnya.

Si bapak yang menjadi juru bicara tampak lelah. Begitu pula si ibu dan putra kecilnya sekira 4 tahunan. Jauh-jauh mereka datang dari Bulukumba untuk bertemu anaknya di Pare-pare. Tapi, bayangan akan segere bertemu anaknya seolah membuyarkan lelah tersebut.

"Kita' tunggu mi di sini dulu di'. Saya panggilkan ki' anak ta'." Setelah mendapat keterangan lengkap tentang nama, kelas dan jenis kelamin, segera saya pamitan untuk ke asrama. Kebetulan para pengurus yang lain sedang ada acara di Makassar. Sehingga tidak ada pengurus lain yang bisa menemani tamu tersebut.

Agar cepat, saya kendarai motor. Kepada seorang santri yang terlihat berada depan asrama, saya meminta untuk memanggilkan santri yang dimaksud. Sesaat berikutnya, ia datang dengan wajah kusut bangun tidur.

"Ada bapakmu di kantor. Cepat mi ke sana." Tak lama, ia segera menghilang dari pandangan.

Agar leluasa melepas kangen, saya sengaja tidak langsung ke kantor. Saya tetap di asrama memperhatikan kegiatan para santri.

Beberapa menit kemudian, saya kembali. Bapak, ibu dan si anak masih melepas kangen. Mereka memilih mengobrol di ruang tunggu. Sehingga saya pun masuk ke kantor kembali ke laptop.

"Ustadz, bisa kah saya ambil nomor ta'," pinta si Ibu tiba-tiba. "Biar saya mudah hubungi anakku nanti." Setelahnya, mereka pamit untuk segera pergi.

Sepeninggal mereka, saya kembali ke rumah. Rencana hendak melanjutkan makan siang, apa daya sudah ludes oleh anak-anak. Tetap alhamdulillah saja. Sebab itu artinya nafsu makan mereka sedang baik.

"Yah, tadi itu ayahnya itu anak," cerocos istri kemudian. Ia rupanya menaruh curiga. Sebab ada adegan yang dilihatnya dari balik jendela rumah yang tidak biasa.

Rupanya, ketika si anak ke kantor, ia hanya melewati saja ruang tunggu kantor. Sedang di sana persis menghadap ke jalan yang dilewati si anak, duduk ayahnya di ruang tunggu depan kantor. Si anak yang lewat depan ruang tunggu itu pasti melihat ke ruang tunggu tersebut.

Tapi yang mengherankan, tambah istri saya, anak itu malah terus saja melewati ruang tunggu. Dan terus menuju ke kantor lama yang ia sendiri tahu tak lagi digunakan sebagai kantor. Hingga tepat sebelum kakinya memijak tangga kantor, ia berbalik karena dipanggil ayahnya yang duduk depan kantor.

Mendengar laporan langsung dari saksi mata, saya juga heran dan bertanya-tanya. Apakah anaknya tidak mengenal ayahnya. Dan sebaliknya, ayahnya juga tidak kenal (lagi) dengan anaknya. Ataukah, itu sebenarnya orang lain yang mengaku ayahnya.

Di masjid, selepas ashar, saya mencari santri tadi di antara para santri. "Tadi itu siapa?" Saya langsung saja setelah ia hadir di depan saya.

"Bapak saya ustadz," katanya singkat dan jelas.

Saya tentu saja semakin penasaran. Hingga pertanyaan-pertanyaan saya ajukan kepadanya untuk memperjelas. Mirip polisi yang menginterogasi terduga sebuah kasus.

Dari keterangannya, si santri bercerita bahwa ia dan ayahnya memang barusan bertemu. "Bapak saya pergi ke Nunukan pas saya masih dikandungan, ustadz," katanya datar. Tidak ada reaksi berlebihan ketika ia bercerita demikian.

Dari lahir hingga sekarang kelas VII, baru kali ini ia bertemu ayahnya di alam nyata. Pantas saja, tidak ada reaksi ayah-anak yang terlihat. Bahkan ketika ia dipangku ayahnya tadi, wajahnya begitu datar. Benar-benar biasa saja. Seolah bukan siapa-siapa.

"Terus, siapa perempuan yang sama bapakmu tadi?" Penasaran saya belum terobati sepenuhnya.

"Dia ibu tiri saya, ustadz," jelasnya singkat dan datar. Ibu kandungnya, lanjutnya, ada di Malaysia. Selama ini, ia tinggal di Bulukumba bersama tantenya. Saudara kandung ibu kandungnya.

Kunjungan bapak dan ibu tirinya siang tadi adalah kunjungan "sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui". Pasalnya, mereka akan bertolak sore nanti menuju Nunukan via kapal laut. Kebetulan pelabuhan keberangkatannya ada di Pare-pare, maka sekalian menjenguk putranya.

Yang patut disyukuri adalah, bertemunya kembali ayah dengan anak. Biar bagaimanapun lamanya berada di perantauan, ayah tetaplah ayah. Dan seorang anak tetap membutuhkan belaian kasih sayang orang-tuanya, sebaik apapun tantenya mengasuhnya. Semoga, pertemuan ini bukan yang terakhir. Terlebih, mereka sudah mendapatkan nomor saya. Komunikasi mereka bisa berjalan lebih intens lagi nantinya.
Kunjungan "Sekali Mendayung Dua Pulau Terlampui" Kunjungan "Sekali Mendayung Dua Pulau Terlampui" Reviewed by GuruNgajiBlogger on Saturday, January 06, 2018 Rating: 5

No comments:

Terima kasih telah berkunjung. Semoga pulang membawa manfaat. Kalau ada yang tidak berkenan, tinggalkan di komentar....

ads
Powered by Blogger.