Penantian Panjang menjadi Hafizh 30 Juz dalam 3 Bulan


Menunggu itu benar-benar pekerjaan yang membosankan dan melelahkan; jika ia layak disebut pekerjaan. Membosankan, jelas. Melelahkan, iya. Sebab duduk-duduk menunggu untuk waktu yang tak pasti itu menghabiskan energi. Untuk mengusir kebosananan dalam penantian itu, banyak hal yang bisa dilakukan. Diantaranya menulis curhat. Ini juga menambah poin lelah tadi; mengetik dilayar mini.

Seperti yang lalu-lalu, sore ini saya kembali mengantar seorang santri ke Rumah Sakit. Biasa; rutinitas yang harus dilakoni sebagai pengganti orang tua bagi para santri di asrama. Santri yang saya antar kali ini ingin periksa ke dokter spesialis bedah tulang. Tapi, apa daya, dokternya sedang cuti. Sehingga petugas registrasi mengarahkan ke dokter umum saja. Toh, hanya untuk melihat dan membandingkan 2 foto hasil rontgen yang diambil di dua waktu berbeda beberapa waktu lalu.


Pilihan mengantar sore jelang maghrib bukanlah tanpa alasan. Biasanya, rumah-rumah sakit kebanjiran pasien rawat jalan ketika malam ba’da maghrib. Mungkin karena pada pagi dan siang hari mereka disibukkan dengan dunia kerja hingga memilih waktu malam untuk memeriksakan diri. Karenanyalah, saya memilih waktu sebelum gelap mulai menyelimuti bumi agar bisa antre registrasi lebih awal. Dengan begitu akan diperiksa lebih awal, dan tentu saja bisa pulang lebih cepat.

Tetapi, manusia hanya bisa berencana, dan Allah-lah yang punya qadha. Berharap sangat bisa mendapat antrean lebih awal, ternyata gagal besar. Sesampai di ruang registrasi, ternyata kursi-kursi tunggu telah terisi penuh. Dan anehnya, yang mengisi relatif sama; wanita-wanita dengan pakaian panjang dan jilbab anggun melewati dada. Belakangan saya ketahui mereka adalah para santriwati cantik dari pondok tetangga yang datang ramai-ramai untuk periksa ke berbagai poli yang ada.

Dan, terbayanglah panjangnya antrean dan lamanya penantian malam ini. Kami datang sekitar pukul 17.30-an WIB. Hingga usai maghrib ketika terbetik pemikiran menulis curhat ini, “pasien” saya belum juga dipanggil. Bahkan, hingga ketika adzan isya dikumandangkan, saya masih tetap berharap namanya segera dipanggil.

Dalam kebosanan penungguan panjang yang belum berkesudahan, saya buka-buka smartphone. Ada beberapa notifikasi. Saya tertarik dengan notifikasi yang datang dari sebuah grup whatsapp; grup alumni almamater tercinta. Rupanya sedang ada diskusi tentang tahfizh alQuran. Dan, terbanglah pikiran saya ke Jombang. Sambil sesekali nimbrung diskusi dan sharing dari apa yang saya ingat di Kota Santri tersebut.
Bukan kebetulan, sekitar pekan ke-2 Januari lalu saya mendapat kesempatan “jalan-jalan” ke Kabupaten Jombang, Jatim. Bukan sendiri, tapi berjamaah. Sebab hidup berjamaah itu kebutuhan mendasar. (Eh, apa hubungannya, ya?) Perjalanan ini memang perjalanan yang disengaja dan direncanakan.

Jombang adalah kabupaten yang dikenal sebagai daerah asal Gusdur, juga menjadi tempat peristirahatan terakhirnya. Jombang juga dikenal dengan kekentalan nuansa kesantriannya. Ada banyak berdiri pondok-pondok di daerah ini. Sebut saja yang terkenal seperti Tebuireng yang didirikan oleh Hasyim Asy’ari di daerah Cukir, Diwek. Juga ada Darul Ulum di Rejoso, Peterongan yang berdiri sejak 1885 dan lebih tua dari Tebuireng. Juga ada Bahrul Ulum di Tambakberas, Tambakrejo. Kemudian ada Mamba’ul Ma’arif, Darussalam, Sunan Ampel, Luhur Nurhasan yang masih terhitung pondok besar dan tua yang telah memiliki ribuan santri.

Sayang sekali, jalan-jalan kami ini bukan ke pondok-pondok tersebut. Kami memilih sebuah pondok kecil yang bahkan belum memiliki masjid. Walau kecil dan terhitung baru, kini sudah memiliki 400-an santri. Apa yang menarik dari pondok ini hingga banyak diminati para santri dari penjuru Indonesia adalah memiliki metode hafalan yang terbilang cukup cepat. Dan inilah sebab perjalanan kami ke gerbang Majapahit ini, salah satunya.

Pesantren ini memiliki tagline Pesantren Program Tahfidh Cepat, Gratis dan Berkualitas. Didirikan Kiai Ainul Yaqin pada medio 2011. Masih tergolong pesantren seumuran jagung ketika pada tahun 2012 dua santrinya khatam setoran hafalan bil-ghoib 30 juz dalam waktu 3 bulan lebih.
Dalam penyampaiannya ketika menerima rombongan kami, Kiai Ainul menyampaikan bahwa kunci menghafal cepat ada pada pembiasaan diri terhadap alQur’an.

“Dengan aurod (bentuk plural dari wirid, red) famy bisayuqin, kami biasakan anak-anak dengan qur’an,” jelasnya.
Famy bisyauqin adalah pembagian bacaan alQuran menjadi 7 bagian. Seseorang yang membaca alQuran dengan metode ini, akan mengkhatamkannya dalam waktu 1 pekan. Bedanya, di pondok ini, famy bisayuqin dimodifikasi sesuai kebutuhan; 6 hari, santri harus khatam baca qur’an. Artinya, bacaan 5 juz menjadi wirid harian para santri. Kegiatan ini dimulai ba’da sarapan hingga sekitar jam 09.00 WIB.

Selain aurod famy bisayuqin, untuk menunjang kelancaran hafalan, juga ada kegiatan shalat malam berjamaah dengan bacaan ½ juz setiap malam. Waktu shalat dhuha juga membaca ½ juz. Setiap ba’da zhuhur dan ashar, secara berjamaah, para santri membaca alQuran sebanyak 1 juz. Dengan famy bisyauqin yang dilakukan nafsi-nafsi sebanyak 5 juz, dan tambahan 3 juz secara berjamaah, praktis para santri sudah membaca dan mendengar bacaan alQuran sebanyak kurang lebih 8 juz setiap harinya. Ini belum dengan kegiatan setoran bin-nazhor (setoran bacaan) dan setoran bil-ghoib (setoran hafalan) setiap santri setiap harinya.
Di bawah kendali Kiai Ainul, pondok ini banyak menorehkan prestasi. Di tahun ke-4 berdirinya, kurang lebih 150 santri telah khatam setoran bil-ghoib 30 juz dengan waktu kurang dari 1 tahun. Di tahun yang sama juga, Menteri Agama memberikan penghargaan dalam acara Apresiasi Pendidikan Islam. Dalam acara itu, pondok ini masuk kategori Lembaga Pendidikan Islam Berprestasi sebagai Pengembang Metodologi Tahfidz Al-Qur’an 6 Bulan.
Pukul 20.30 WIB, sekarang. Saya masih menunggu. Kali ini saya menunggu di lobi. Lumayan bisa bernafas lega sebab langsung berhadapan dengan pintu utama yang terbuka lebar membawa sepoi angin malam. Setidaknya jauh dari wangi obat-obatan dan peralatan medis berbau khas.

Di pojok kanan atas layar smartphone menunjukkan angka 20.40 ketika dari arah ruang-ruang poli muncul nongol sosok yang tadi saya antar. “Alhamdulillah, selesai sudah,” batin saya. Bisa segera pulang dan checklock out tepat pukul 21.00 WIB tepat di pondok nanti. Kami pun segera ke parkiran. Sambil menjaga asa semoga Lalapan Bengkel yang terkenal itu masih buka. Maklum, dapur pondok di jam segini sudah tak melayani.

 *Selesai ditulis Rabu, 27 Januari 2016, pukul 20.41 WIB, dan penambahannya selesai baru saja.
Penantian Panjang menjadi Hafizh 30 Juz dalam 3 Bulan Penantian Panjang menjadi Hafizh 30 Juz dalam 3 Bulan Reviewed by Ibnu Basyier on Thursday, January 28, 2016 Rating: 5

2 comments:

Terima kasih telah berkunjung. Semoga pulang membawa manfaat. Kalau ada yang tidak berkenan, tinggalkan di komentar....

ads
Powered by Blogger.