Perlukah Belajar Menulis
Perlu saudara kembarnya butuh. Seseorang yang perlu, berarti ia butuh. Jika ia membutuhkan sesuatu, maka ia memerlukannya. Belajar adalah kebutuhan dan keperluan. Dengan belajar, seseorang akan mengetahui banyak hal, akan mendapatkan banyak wawasan. Orang belajar akan menjadi cerdas dan lebih cerdas. Akan terlihat beda yang mencolok antara orang terpelajar dengan yang tak terpelajar. Tapi, tidak semua hal butuh dan perlu dipelajari.
Makan adalah kebutuhan. Makan bagi manusia, seperti air bagi ikan. Dengan makan, manusia akan bertahan hidup dan tetap eksis. Tapi, tak lantas karena ia merupakan kebutuhan mendasar, lalu ia harus dipelajari. Tidak perlu. Anak saya, entah bagaimana caranya, bisa dengan sendiri meminum ASI dari bundanya. Tak pernah diajari, dan belum pernah belajar sebelumnya. Mengapa bisa? Karena naluri mempertahankan hidup!
Berbicara juga merupakan kebutuhan mendasar. Layaknya makan, ia juga tak perlu dipelajari. Seorang anak usia batita, dalam usahanya bisa berbicara, hanya mengandalkan insiting meniru orang dewasa disekitarnya.
Mendengar dan melihat juga demikian. Karena kebutuhan mendasar, tak perlu mempelajarinya untuk bisa. Hanya butuh menggunakan mata saja secara optimal untuk bisa melihat dengan baik. Dan butuh menggunakan telinga saja secara maksimal untuk bisa mendengar dengan seksama.
Menulis layaknya makan. Ia adalah kebutuhan paling mendasar. Dengan menulis, manusia akan bertahan dalam sejarah peradaban manusia di muka bumi. Kelak, ketika telah tiada, seorang penulis akan tetap eksis melalui tulisannya. Pemikirannya tetap ada dan dibaca, padahal otaknya tak lagi ada.
Seperti makan, menulis juga tak penting untuk dipelajari. Ia, sejatinya, adalah sesuatu yang bisa dilakukan oleh sesiapa saja yang memiliki naluri untuk mempertahankan hidup. Menulis adalah sesuatu yang sudah bisa kita lakukan sejak sekolah dasar, bahkan di taman kanak-kanak. “Ini budi, ini bapak budi, ini ibu budi” adalah contoh nyata dari hal itu.
Seperti kemampuan berbicara, menulis juga tak perlu dipelajari. Ia, seharusnya, sudah menjadi kemampuan dasar yang dimiliki oleh tangan; seperti lisan yang ahli berbicara. Tak perlu menyusahkan diri dengan belajar macam-macam untuk memaksimalkan fungsi tangan itu. Mulailah menulis seperti bagaimana dulu mulai berbicara.
Seperti kemampuan mendengar, menulis juga tak perlu dipelajari. Ia, pada hakikatnya, merupakan kemampuan dasar yang dimiliki oleh orang-orang yang memiliki tangan; seperti telinga yang digunakan untuk mendengar. Seperti pada awal bisa mendengar, menulis juga seperti itu. Tiba-tiba saja –tentu dengan rahmat Allah- telinga bisa berfungsi dengan baik. Kecuali tangan yang berfungsi untuk menulis itu didiamkan saja, maka tentu fungsinya tak maksimal.
Seperti kemampuan melihat, menulis juga demikian; tak perlu dipelajari. Mata sudah bisa melihat dengan baik sejak bulan kedua kelahiran seseorang, tanpa sebelumnya pernah belajar menggunakannya. Sejatinya, menulis juga demikian. Tak perlu mengajak tangan untuk belajar menulis. Ia adalah kemampuan yang dimiliki tangan sejak lama.
Jangan Menunggu Tulisan di Batu Nisan
Hanya saja, kita belum memaksimalkan fungsi tangan sebagaimana fungsi mata, telinga dan lisan kita optimalkan. Inilah yang menjadi problem. Entah mengapa, tangan ini agak susah mau diajak menulis, kecuali hanya sekedar memenuhi tugas pelajaran dan mengisi lembar jawaban. Bahkan, status-status di media sosial; facebook, twitter, instagram dan lain sebagainya, banyak bersumber dari hasil contekan alias copy plek dari orang lain.
Padahal, nyata adanya, tercatat dalam sejarah, tulisanlah yang membuat seseorang tetap dapat dikenali. Tengoklah batu nisan seseorang yang telah meninggal lebih dahulu, bersebab tulisan namanya di nisan –terlepas dari perbedaan pendapat tentang hukumnya– itulah ia tetap dikenali. Padahal, tulisan itu ditulis oleh orang lain; bukan tulisannya. Mengapa ini tak cukup menjadi alasan untuk mulai mengoptimalkan tangan untuk menulis? Haruskah menunggu tulisan nama di batu nisan agar tetap dikenali nanti?
Mulailah Menulis, Sekarang!
Maka, wahai anak muda, menulislah mulai sekarang. Mulai biasakan untuk menulis. Seperti mendengar dan melihat, menulis tak butuh energi khusus. Tulis saja apa yang terdengar dan terlihat. Seperti berbicara, menulis tidak butuh banyak teori. Menulislah dengan lepas, seperti kita berbicara tanpa mengenal lelah; bahkan sebelum rukuk rakaat pertama pun masih berbicara. Menulislah dengan lepas, seperti kita berbicara (kadang) ceplas-ceplos. Seperti makan, menulislah agar tetap bertahan “hidup” dalam sejarah manusia.
Lalu, bagaimana memulai menulis? Satu tips sederhana untuk menulis adalah: menulislah, menulislah, menulislah. Lah, kok? Iya, sebab, menulis tak butuh teori macam-macam. Tak perlu itu. Yang dibutuhkan adalah mengangkat pena dan mulailah “mencoret” di lembaran yang ada.
Saya buka sedikit rahasia. Saya, sejak dulu, suka dengan menulis. Sebelum mengenal blog dan dan microblog media sosial lainnya, saya menulis lewat diary. Sebelum tidur, saya menulis kisah sehari penuh di sana. Diary saya itu, layaknya saudara bagi saya. Ia adalah teman curhat bagi saya. Ketika mendapat nilai kurang bagus, ketika dapat marah, ketika cinta bertepuk sebelah tangan, ketika digundul, ketika disuruh sit-up di anak tangga, ketika berjemur ria di sekolah di terik matahari, dan banyak kisah lainnya, adalah sedikit contoh yang saya tumpahkan di diary.
Saya pernah sesumbar di hadapan awak redaksi Playlist -nama mading di sekolah tempat saya belajar. Saya katakan, diary saya, jika ditumpuk, hampir sama dengan tebalnya dengan dua jilid buku terjemahan shahih muslim. Kalau dengan hard covernya diary saya, ini memang agak benar. Kalau isinya, mungkin tidak setebal itu. Lalu, adakah saya harus malu karena konon katanya yang menulis diary hanya cewek? Tidak. Saya tidak malu. Apakah hanya cewek yang harus menjadi penulis? Haha, keliru! Bagi saya, anggapan itu –kalau benar dan terbukti-, hanya seperti angin malam yang bertiup sepoi. Saya biarkan ia berlalu.
Percaya atau tidak, dari menulis diary itulah, saya mulai terbiasa menulis! Maka, sekali lagi, menulislah, menulislah dan menulislah. Sebelum tidur, coretlah sesuatu di buku –kalau malu itu disebut diary. Semoga kisah kalian tetap abadi bersama coretan itu!
Perlukah Belajar Menulis
Reviewed by Ibnu Basyier
on
Monday, May 02, 2016
Rating:
No comments:
Terima kasih telah berkunjung. Semoga pulang membawa manfaat. Kalau ada yang tidak berkenan, tinggalkan di komentar....