Akibat Lupa Allah dalam Ibadah
Ihsan, namanya. Bukan nama sebenarnya. Di subuh ke enam Ramadhan ini, galau kacau balau menimpanya. Berbagai macam rasa berkecemuk bercampur dalam hatinya. Ada sesal tiada terkira. Ada marah entah kepada siapa. Ada emosi meluap tak bermuara. Ada apa dengannya?
Ihsan, sebagaimana muslim lainnya dalam menyikapi Ramadhan, juga memasang target ibadah harian. Sebelum masuk Ramadhan, ibadah wajib kadang dilalaikan, ibadah sunnah banyak ia tinggalkan. Maka di kesempatan 30 hari ini, ia berazzam memperbaiki diri dan ibadah hariannya. Salah satunya adalah shalat berjamaah. Di luar Ramadhan, ia kerap kali masbuq shalat berjamaah. Tidak hanya sekali, bahkan kadang lima kali shalat dalam sehari. Dan naudzubillah, kadang juga tidak berangkat ke masjid untuk jamaah.
Maka di Ramadhan, ia memasang target tidak akan tertinggal lagi shalat berjamaah. Ia mengharuskan diri selalu ikut takbir pertama imam. Dan kenyataannya, ia memang mampu setelah me-menej dan me-reschedule waktunya dengan baik. Hari pertama, alhamdulillah lancar tertunaikan. Hari kedua juga demikian. Demikian seterusnya hingga hari kelima kemarin. Shalatnya tidak lagi ketinggalan.
Cobaan datang di hari ini, hari ke enam. Entah ada apa, takmir masjid dekat rumahnya memutuskan mengumandangkan iqomat lebih cepat dari biasanya. Jika di hari lain iqomat berkumandang 10 menit selepas azan, subuh tadi dikumandangkan lebih cepat. Dan, naas, bagi dia.
Baru saja ia salam dari shalat sunnah fajarnya di rumah, iqomat sudah berkumandang. Jarak rumahnya ke masjid memang dekat. Sekitar 200-an meter. Ia shalat sunnah di rumah untuk mengamalkan hadits bahwa seutama-utama shalat sunnah adalah yang dikerjakan di rumah.
Walau sedekat itu jaraknya, sudah dipastikan dia masbuq. Dan memang benar, setiba di masjid, Imam sudah membaca surat setelah alFatihah. Lemaslah dia. Semangatnya tiba-tiba menurun ke titik mengkhawatirkan. Asa yang ia pupuk selama 5 hari, hancur berkepingan.
"Ya, Allah, "rintihnya tiba-tiba ingat kepada Allah, "gagal saya," lanjutnya meratapi nasib.
Selepas subuh yang naas itu, ia merenung dan memuhasabah diri. Berbagai pertanyaan ia ajukan sendiri untuk dijawab sendiri. Apa yang terjadi? Apa yang hendak Allah tunjukkan? Apa yang salah dari azzamnya? Apa yang salah dari niatnya untuk berubah?
Ia tidak mungkin marah kepada takmir yang mengumandangkan iqomat diluar jadwal. Ia tidak mungkin meluapkan emosi kepada imam yang mungkin minta iqomat disegerakan. Ia hanya bisa menyesalkan keadaan. Yang paling ia sesalkan adalah terlalu sombongnya dirinya tak meminta pertolonganNya.
Ya, ia lupa doa yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Doa kerendahan diri yang diucap sebelum salam. Atau mungkin saja ia tidak lupa. Hanya kurang sungguh-sungguh dalam memintanya. Hanya sebatas formalitas sebagai doa penutup tahiyat sebelum salam.
Doa ini, mengajarkan kepada kita bahwa kita bukanlah apa-apa dan bukanlah siapa-siapa. Segala yang kita lakukan adalah karena rahmatNya; rahmanNya. Segala yang kita jalankan adalah karena kasih sayangNya; rahimNya.
Kita sujud, tidak bisa kecuali karena bantuanNya. Ia-lah yang menggerakkan iman di hati untuk melakukannya. Kita berdoa, tidak bisa karena bimbinganNya. Dia-lah yang menggerakkan jari-jemari terbuka untuk meminta kepadaNya. Kita menangis, tidak bisa kecuali karena taufikNya. Ia-lah yang melembutkan hati sehingga mata menangis karenaNya.
Inilah yang Ihsan lupa. Ini yang Ihsan telat sadari. Bahwa dirinya ada, berusaha dan bisa karena Allah semata. Bahwa ibadah-ibadah yang selama ini ia lakukan hanya karena bantuanNya. Ia terlalu sombong; membuat target ibadah tinggi, tapi lupa meminta dibantu sama Allah. Dirinya terlalu naif, merasa bisa melakukannya seorang diri.
Inilah yang (mungkin) Allah ingin Ihsan sadari lebih dini. Mumpung Ramadhan masih panjang. Hari-hari berikutnya, Allah ingin Ihsan meminta bantuanNya untuk membantunya memenuhi targetnya. Dan tentunya, juga, ibadah lainnya. Kalau selama ini merasa sudah meminta, berarti frekuensi meminta itu harus ditingkatkan. Kualitasnya harus maksimal.
Ihsan, sebagaimana muslim lainnya dalam menyikapi Ramadhan, juga memasang target ibadah harian. Sebelum masuk Ramadhan, ibadah wajib kadang dilalaikan, ibadah sunnah banyak ia tinggalkan. Maka di kesempatan 30 hari ini, ia berazzam memperbaiki diri dan ibadah hariannya. Salah satunya adalah shalat berjamaah. Di luar Ramadhan, ia kerap kali masbuq shalat berjamaah. Tidak hanya sekali, bahkan kadang lima kali shalat dalam sehari. Dan naudzubillah, kadang juga tidak berangkat ke masjid untuk jamaah.
Maka di Ramadhan, ia memasang target tidak akan tertinggal lagi shalat berjamaah. Ia mengharuskan diri selalu ikut takbir pertama imam. Dan kenyataannya, ia memang mampu setelah me-menej dan me-reschedule waktunya dengan baik. Hari pertama, alhamdulillah lancar tertunaikan. Hari kedua juga demikian. Demikian seterusnya hingga hari kelima kemarin. Shalatnya tidak lagi ketinggalan.
Cobaan datang di hari ini, hari ke enam. Entah ada apa, takmir masjid dekat rumahnya memutuskan mengumandangkan iqomat lebih cepat dari biasanya. Jika di hari lain iqomat berkumandang 10 menit selepas azan, subuh tadi dikumandangkan lebih cepat. Dan, naas, bagi dia.
Baru saja ia salam dari shalat sunnah fajarnya di rumah, iqomat sudah berkumandang. Jarak rumahnya ke masjid memang dekat. Sekitar 200-an meter. Ia shalat sunnah di rumah untuk mengamalkan hadits bahwa seutama-utama shalat sunnah adalah yang dikerjakan di rumah.
Walau sedekat itu jaraknya, sudah dipastikan dia masbuq. Dan memang benar, setiba di masjid, Imam sudah membaca surat setelah alFatihah. Lemaslah dia. Semangatnya tiba-tiba menurun ke titik mengkhawatirkan. Asa yang ia pupuk selama 5 hari, hancur berkepingan.
"Ya, Allah, "rintihnya tiba-tiba ingat kepada Allah, "gagal saya," lanjutnya meratapi nasib.
Selepas subuh yang naas itu, ia merenung dan memuhasabah diri. Berbagai pertanyaan ia ajukan sendiri untuk dijawab sendiri. Apa yang terjadi? Apa yang hendak Allah tunjukkan? Apa yang salah dari azzamnya? Apa yang salah dari niatnya untuk berubah?
Ia tidak mungkin marah kepada takmir yang mengumandangkan iqomat diluar jadwal. Ia tidak mungkin meluapkan emosi kepada imam yang mungkin minta iqomat disegerakan. Ia hanya bisa menyesalkan keadaan. Yang paling ia sesalkan adalah terlalu sombongnya dirinya tak meminta pertolonganNya.
Ya, ia lupa doa yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Doa kerendahan diri yang diucap sebelum salam. Atau mungkin saja ia tidak lupa. Hanya kurang sungguh-sungguh dalam memintanya. Hanya sebatas formalitas sebagai doa penutup tahiyat sebelum salam.
اللهم أعني على ذكرك وشكرك ÙˆØسن عبادتك
Allahumma 'ainniy 'ala zikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik.“Ya Allah, tolonglah aku dalam berdzikir kepada-Mu, mensyukuri segala nikmat-Mu, dan membaguskan ibadah kepada-Mu.” [Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, dari shahabat Muadz bin Jabal. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib]
Doa ini, mengajarkan kepada kita bahwa kita bukanlah apa-apa dan bukanlah siapa-siapa. Segala yang kita lakukan adalah karena rahmatNya; rahmanNya. Segala yang kita jalankan adalah karena kasih sayangNya; rahimNya.
Kita sujud, tidak bisa kecuali karena bantuanNya. Ia-lah yang menggerakkan iman di hati untuk melakukannya. Kita berdoa, tidak bisa karena bimbinganNya. Dia-lah yang menggerakkan jari-jemari terbuka untuk meminta kepadaNya. Kita menangis, tidak bisa kecuali karena taufikNya. Ia-lah yang melembutkan hati sehingga mata menangis karenaNya.
Inilah yang Ihsan lupa. Ini yang Ihsan telat sadari. Bahwa dirinya ada, berusaha dan bisa karena Allah semata. Bahwa ibadah-ibadah yang selama ini ia lakukan hanya karena bantuanNya. Ia terlalu sombong; membuat target ibadah tinggi, tapi lupa meminta dibantu sama Allah. Dirinya terlalu naif, merasa bisa melakukannya seorang diri.
Inilah yang (mungkin) Allah ingin Ihsan sadari lebih dini. Mumpung Ramadhan masih panjang. Hari-hari berikutnya, Allah ingin Ihsan meminta bantuanNya untuk membantunya memenuhi targetnya. Dan tentunya, juga, ibadah lainnya. Kalau selama ini merasa sudah meminta, berarti frekuensi meminta itu harus ditingkatkan. Kualitasnya harus maksimal.
Akibat Lupa Allah dalam Ibadah
Reviewed by Ibnu Basyier
on
Saturday, June 11, 2016
Rating:
dalam setiap ibadah yang dilakukan seharusnya hanya Allah yang diingat, semoga kita menjadi orang-orang yang khusyu'
ReplyDelete