Salah Sebut Tumit, Dapat Ikan Satu Ikat
Suatu ketika, saya dan seorang kawan dipercayai mengisi khutbah Jum'at di suatu tempat. Asalnya, yang bertugas adalah ustadz yang lebih senior. Karena alasan kesehatan dan keselamatan, kami yang katanya masih muda dan enerjik yang diminta menggantikan. Maklum, perjalanan ke tempat khutbah itu memang sangat menantang.
Tempat khutbah yang dituju adalah salah satu rig off shore milik Total di Senipah. Sebuah fasilitas pengeboran minyak lepas pantai yang banyak ditemui di sepanjang bibir laut lepas selat Makassar. Diberi kesempatan khutbah di lahan "basah" seperti itu, tentu saja saya senang. Selain pengalaman, tentu juga lebih besar amplopnya. Hehehe.
Selama ini, saya dan kawan-kawan mahasiswa lain memang ditugaskan sebagai "dai pinggirian". Disebut demikian, karena memang sebagai ajang latihan di masjid-masjid pinggiran kota. Letaknya jauh dari keramaian, dekat jantung hutan, dan tidak ada transport untuk khotib.
Maka, Dakwah Center yang memberi transport kepada dai pinggiran untuk berangkat ke sana. Dananya berasal dari setoran wajib khotib lain yang berada di daerah "basah" sebesar 25%. Mendapat tawaran keluar dari hutan ke laut lepas, tentu saja merasa senang.
Jumat dini hari, kami segera meluncur ke tempat tugas. Hari masih terlalu pekat. Jalan masih lengang. Sepi mencekam. Sesuai pesanan, kami harus segera sampai sebelum boat yang mengantar karyawan ke rig menarik jangkar.
Alhamdulillah, kami tiba tepat waktu. Setelah mengurus segala sesuatu, kami segera masuk ke ruang briefing. Di sini, kami dan karyawan lain mendapatkan materi panduan keselamatan melalui video hingga selesai. Kemudian, satu persatu, penonton berbaris rapi menuju dermaga.
Rupanya, saya harus berpisah dengan kawan tadi. Tempat khutbahnya berbeda dari saya. Boat-nya juga berbeda. Saya lebih dahulu berangkat.
Manajemen di tempat ini sungguh teratur. Tidak ada desak-desakan memasuki boat super besar dan wah itu. Tidak dijumpai dorong-dorongan antar petugas dan penumpang seperti di pelabuhan Indonesia pada umumnya. Mereka masuk satu persatu setelah menggunakan pelampung yang dibagikan sebelumnya. Rapi. Teratur.
Setelah lengkap sesuai daftar yang ada di tangan petugas, boat segera melepas jangkar melaut lepas. Satu persatu karyawan naik dan turun. Beberapa rig terlewat, dan saya belum juga disuruh turun. Padahal perjalanan sudah lama, dan daratan sudah tak terlihat. Saya berada si tengah laut lepas. Betapa kecilnya.
Ilustrasi rig dari google |
Rupanya, saya orang terakhir yang diantar. Mungkin juga, ini rig terluar dan terjauh. Setelah keluar dari boat dengan sedikit pening, saya diantar ke ruang resepsionist. Lagi-lagi, ada pengarahan panduan keselamatan. Secara rinci, petugas itu juga menjelaskan kepada saya nama-nama tempat yang ada di rig itu.
Saya segera beristirahat melepas penat di kamar yang disediakan. Saya sendiri di ruangan dengan 4 kamar tidur itu. Mungkin seperti ruang kelas 2 di kapal pelni. Sambil baring, saya mengulang materi yang akan disampaikan.
Menjelang waktu zhuhur, saya segera mandi. Tepat setelah membereskan penampilan, seseorang mengetuk.
"Ustadz, ayo berangkat sama saya," ajaknya setelah mengucap salam.
Yang mengajak adalah seorang polisi bertubuh besar. Sudah beberapa hari ia di sini. Belakangan saya tahu, ternyata di setiap rig, ada seorang polisi yang ditugaskan. Mungkin untuk menjaga keamanan para karyawan. Ia menyapa saya dengan ustadz karena tahu saya yang akan khutbah siang ini di sini.
Kami tiba di sebuah ruangan kecil. Tampaknya, ini adalah ruangan hiburan yang di sulap sementara menjadi tempat shalat. Di sudut sana, ada seperangkat alat musik. Di dinding, ada layar lebar seperti mini bioskop.
"Ruangan ini diubah fungsinya ketika Jum'atan dan hari Ahad saja," kata pak Polisi menjawab kebingungan saya.
Saya membawakan khutbah dengan lancar, Alhamdulillah. Dari mimbar tadi, terlihat ada 30-an orang yang hadir. Tidak cukup untuk membuat full ruangan sulapan ini.
Dalam hati saya membatin, "Ah, ini tidak jauh beda dengan khutbah biasanya. Pendengarnya sama jumlahnya."
Selepas khutbah, saya juga didaulat sebagai Imam shalat. Dengan berat hati, saya melangkah ke tempat imam.
"Shawwu, wa'tadhilu!"
"Rapat dan luruskan shaff."
"Tumit di kaki."
"Rapat dan luruskan shaff."
"Tumit di kaki."
"Apa?" Saya teriak dalam hati.
Para jamaah mungkin kaget mendengar aba-aba yang terakhir. Beberapa orang yang sadar ada kekeliruan, menatap saya heran. Sambil menahan malu, saya segera balik badan ke arah kiblat.
"Biasanya kan 'Tumit di garis.' Kok ini beda, ya?" Mungkin mereka bertanya heran dalam hati.
Posisi tumit yang benar ketika shalat jamaah. |
Rupanya, inilah mungkin akibat saya suka bercanda ketika mengatur shaff adik-adik MTs di masjid ArRiyadh. Shalat bukan mainan. Maka sangat tak etis kalau ketika mengatur shaff sambil bercanda. Naudzubillah.
Ketika makan siang prasmanan, saya takut ada yang bertanya-tanya. Namun, Alhamdulillah, semua sibuk dengan makannya. Pak Polisi yang setia menemani saya juga sibuk dengan menu pilihannya. Tidak ada pertanyaan soal tumit di kaki.
Jelang sore, jemputan saya datang. Saya masih ingin berlama-lama menikmati senja. Terlebih pak Polisi mengajak saya memancing di salah satu sudut rig. Namun sayang seribu sayang, tentu menyalahi akan perizinan. Dan juga, saya belum bilang ke kawan seperjalanan untuk bermalam.
Sebelum meninggalkan rig, pak Polisi memberi hadiah. Satu ekor ikan besar dalam bungkusan karung beras 25 kg diberikan kepada saya. Saya tidak tahu jenis ikannya. Ikan itu adalah hasil pancingan pak Polisi sambil mengusir bosan. Satu-satunya hiburan selama bertugas di laut.
"Lain kali mancing sendiri, ya?" Katanya memberi saya asa bisa kembali ke rig.
Kawan saya sudah menunggu di dermaga. Nasibnya tidak seberuntung saya. Tapi, saya mengajaknya menikmati ikan woku balanga khas manado. Ikan hadiah pak Polisi tadi, oleh kawan takmir saya asal Manado, dititip ke seorang kenalannya yang juga asal Manado. Alhamdulillah. Nikmat rasanya.
"Kalau tidak karena "tumit di kaki", mungkin dapat dua ikannya, "kata saya menghibur diri ketika yang lain menertawai kejadian yang saya alami.
*Pengalaman ini true story ketika menjadi mahasantri di Pesantren Hidayatullah Balikpapan. Sebelumnya, kisah ini saya post di facebook. Kemudian saya pindahkan di sini.
Salah Sebut Tumit, Dapat Ikan Satu Ikat
Reviewed by Ibnu Basyier
on
Tuesday, August 23, 2016
Rating:
Hi Ibnu Basyier
ReplyDeleteKhutbah mengharap imblan yah?
Saya baca disitu amplop amplopan jadi kalo mau ngajar jadi ustdaz tujuannya duit bukan niat karna Allah hehe.
Pengalaman bags mas. Dari segi tampilan jug udah oke mas
Terima kasih sudah berkunjung, mas. Suatu kehormatan bisa dikunjungi oleh pendiri BAM.
DeleteSoal amplop, itu hanya bumbu cerita saja, mas. Abaikan, saja... Heheheh
Aya Aya bae :p
ReplyDeleteKisah nyata loh :-D
Delete