Membiasakan Kebaikan


Ada aturan unik yang diterapkan di tempat saya mengajar mengaji. Aturan ini berlaku khusus untuk santri. Tidak tertulis, tapi tetap dipatuhi. Aturan itu mengatakan wajibnya santri kelas tiga, untuk berada di shaf terdepan ketika shalat berjamaah, baik tingkat tsanawi maupun aliy.

Aturan ini berlaku setiap tahun. Setiap pelepasan lulusan, maka santri kelas tiga yang baru naik harus mengikuti itu aturan. Setelah shaff kelas tiga penuh, shaff selanjutnya diisi oleh kelas bawahnya. Dan terus demikian hingga kelas satu paling belakang.

Dari satu sisi, aturan ini baik. Tapi dari sisi lain, sepintas, aturan ini menyelisihi tuntunan agama. Maka suatu hari, seorang santri kelas satu bertanya kepada saya. “Ustadz,” katanya, “Mengapa kita gak boleh di shaff depan? Kan dilarang tuh itsar dalam ibadah?”

Nah, ini.

Ini yang saya khawatirkan ketika tahu ada aturan pengkhususan kelas paling tinggi di shaff paling depan. Bahwa kelak akan ada bertanya mengapa. Dan itu perlu penjelasan lebih agar dia mengerti. Tapi, saya bukanlah pengurus dan perumus aturan. Dan saya juga belum pernah mendapat penjelasan mengenai pengkhususan ini.

“Dalam Islam, semakin tinggi ilmu seseorang, semakin dekat dia kepada Allah,” saya mencoba memberi pengantar untuk menjelaskan.

“Nah, kakak kelas kalian, secara teori, tentu lebih banyak ilmu yang telah dia pelajari dari kelas bawahnya. Tentu saja, para pengurus berharap seperti itulah kebenarannya. Dan karena mereka lebih banyak ilmunya itulah, maka mereka harus berada di shaff terdepan agar lebih dekat kepada Allah.

Tentu saja, ini hanyalah harapan besar pengurus. Dan mereka, kelas tiga itu, diasumsikan sudah mendapat ilmu lebih banyak. Dan itu tampak dari keberadaan mereka di shaff pertama dalam setiap shalat berjamaah,” panjang lebar saya menambahkan.

Entahlah, apakah alasan itu juga yang ada dibenak para pengurus. Yang jelas, itulah jawaban diplomatis yang saya sampaikan kepada santri penanya tersebut. Walau ketika itu rada belum puas, yah, apa boleh buat.

Dalam Islam, pengkhususan terhadap orang lain disebut dengan itsar. Lebih jelas lagi, itsar adalah menghkhususkan dan mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan pribadi. Ini memang ada tuntunannya. Ada ayatnya, ada haditsnya.

Itsar, oleh para ulama, dibagi menjadi dua; itsar dalam hal keduniaan dan itsar dalam hal ibadah. Itsar dalam hal perkara duniawi adalah sesuatu yang sangat dianjurkan. Bahkan disebutkan, itsar dalam hal ini adalah salah satu puncaknya persaudaraan. Dan ini bukan perkara mudah dan ringan.

Adapun itsar dalam hal ibadah, adalah sesuatu yang makruh alias dibenci. Sebab, Allah memerintahkan hambanya untuk berlomba meraih ketakwaan. Dan derajat taqwa didapat dari ibadah yang ikhlas dan sesuai dengan petunjuk nabiNya. Setiap orang diperintah untuk ini. Makanya, dilarang mendahulukan orang lain dalam hal ibadah. Hatta kepada orang-tua dan orang-orang terkasih lainnya.

Dan inilah yang dipermasalahkan oleh si santri penanya tadi. Berada di shaff terdepan memiliki keutamaan tersendiri. Dan itu tentu saja bisa menambah derajat ketakwaan. Sehingga, dilarang mendahulukan orang lain untuk mendapatkannnya.


Tapi, ya, kita memang harus membiasakan kebaikan. Walaupun hanya berupa kebiasaan berada di shaff depan. Dan itu juga yang saya harapkan. Kelak, selulus mereka dari pondok, saya berharap mereka tetap mengincar shaff terdepan ketika shalat berjamaah. Sebagai bagian dari hasil pembiasaan di pondok sebelumnya.
Membiasakan Kebaikan Membiasakan Kebaikan Reviewed by Ibnu Basyier on Monday, November 07, 2016 Rating: 5

No comments:

Terima kasih telah berkunjung. Semoga pulang membawa manfaat. Kalau ada yang tidak berkenan, tinggalkan di komentar....

ads
Powered by Blogger.