Api Cemburu

Di suatu malam yang gulita, Nabi keluar rumah sendirian. Ketika itu, ia tidur di rumah Aisyah. Dan baginda Nabi keluar begitu saja. Aisyah yang ketika itu pura-pura tidur, segera bangun. Sifat cemburunya sebagai orang yang memiliki madu muncul dengan hebatnya. “Ada apa gerangan Nabi keluar malam-malam sambil sembunyi-sembunyi?” Bisik Aisyah dalam hatinya.

Tidak ingin dikuasai cemburu berlebihan, ia segera bangkit. Mengenakan pakaian tertutup dan segera menguntit Nabi dari belakang. Ke maan Nabi melangkah, ke sana pula Aisyah ikut. Nabi belok, ia ikut belok. Nabi berjalan cepat, ia ikut percepat langkahnya.

Hingga perjalanan itu sampai ke daerah Baqi’. Aisyah masih aman di belakang Nabi. Dan Nabi belum tahu sedang diuntit oleh Aisyah. Sampai kemudian, Aisyah yang berusaha agar tidak tertinggal jauh dari Nabi justru berjalan terlalu cepat. Entah seperti apa ceritanya, tiba-tiba saja Aisyah justru mendahului Nabi.

“Kenapa kamu ini, Aisyah? Dadamu berdetak kencang!” Aisyah gelagapan. Antara kaget, menahan cemburu, dan juga kelelahan mengejar. Semua itu teramu membuat dadanya bergemuruh cepat. Sampai-sampai Nabi pun mendengar detakannya.

Sebagai orang yang jujur, Aisyah mengutarakan rasanya. Tentang cemburunya, karena pujaan hatinya keluar rumah malam-malam. Tentang dugaannya ia ditinggal pergi ke rumah madu yang lain. Tentang cinta yang begitu dalam hingga cemburunya begitu berlebihan.

Mendengar pengakuan terus terang itu, Nabi berkata lembut lagi menenangkan. “Apakah kamu, wahai Aisyah, mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya akan menzhalimimu?”

Kisah yang panjang ini menerangkan kepada kita bagaimana istri Nabi yang pencemburu mampu mengelola cemburunya. Walau dibakar api cemburu, Aisyah tetap bisa berpikir logis. Tidak mengedepankan prasangka-prasangka berlebihan. Apalagi sampai menuduh yang tidak-tidak.

Keluarnya malam itu mengikuti Nabi adalah berdsarakan cemburu yang positif. Cemburu yang menjadi bumbu. Bumbu yang menyedapkan keharmonisan, kemesraan dan kepuasan batin dalam kehidupan rumah tangga.

Sekiranya Aisyah tidak mampu mengendalikan cemburunya, maka ia akan berdiam diri di rumah. Cukuplah kepergian di malam gulita menjadi senjata untuk menyalakan api cemburu. Hingga ketika datang kembali ke rumah, api menyala itu siap untuk dikeluarkan menjadi api kemarahan.

Tapi, Aisyah yang bijak dan cerdas mampu menahan api itu. Kecemburuannya adalah dalam rangka membela kehormatan dirinya sebagai istri yang mendapati giliran serumah. Kecembuaran yang didasari ketulusan cinta. Sehingga ia tidak melakukan hal-hal bodoh yang justru bisa merusak cintanya.

Inilah ghirah ‘alal mahbub. Yakni kecemburuan atas orang lain yang juga mencintai cintanya. Cemburu terhadap orag lain yang ikut mencintai orang yang dicintainya. Malam itu adalah giliran Aisyah tidur bersama Nabi. Wajar jika Aisyah cemburu ketika secara tiba-tiba Nabi justru keluar dari rumah di malam gulita.

Ini pula cemburu yang dirasakan oleh sahabat Saad bin Ubadah. Ketika dia berkata, “Sekiranya aku melihat seorang laki-laki bersama dengan istriku, niscaya akan kutebas ia dengan pedang.” Cemburu dalam rangka membela kehormatan istrinya. Sebab istrinya adalah miliknya, dan seorang istri tidak bisa dimiliki oleh lelaki lain selama lelakinya masih sah dan hidup.


Selain cemburu seperti di atas, ada pula cemburu lain. Yakni ghirah lil mahbub. Sebuah kecemburuan terhadap orang yang dicintai ketika hak dan kehormatan orang tersebut dicela, dihina atau direbut. Kecemburuan itu lalu menimbulkan pembelaan mati-matian. Agar hak dan kehormatan itu kembali kepada orang yang dicintainya. 

Kisah ini tercantum dalam hadits no 2/670 dalam Shahih Muslim.
Api Cemburu Api Cemburu Reviewed by Ibnu Basyier on Wednesday, August 02, 2017 Rating: 5

2 comments:

Terima kasih telah berkunjung. Semoga pulang membawa manfaat. Kalau ada yang tidak berkenan, tinggalkan di komentar....

ads
Powered by Blogger.