Please, Understand Me!
Sebagai pengasuh, saya dituntut untuk bisa menyelami kondisi anak. Tiap anak beda karakternya. Sehingga dibutuhkan pendampingan ekstra untuk mengerti setiap kondisi anak. Apalagi dalam masa adaptasi, di mana anak cenderung masih suka melanggar karena alasan klasik.
.
Ikhlas, misalnya. Ketika mendapatinya di awal masuk sebagai santri baru, saya mengenalnya sebagai santri yang pendiam. Walau demikian, ia menjadi aktif ketika berada di tengah-tengah teman-temannya. Masa adaptasinya di bulan pertama ia lalui dengan baik.
.
Memasuki tri wulan pertama, catatan saya untuk materi hafalan Al-Qur'an, baik. Untuk materi akademik di sekolah, cukup bisa mengikuti, bahkan namanya tercantum pada senarai santri di kelas dengan tingkat IQ yang lumayan.
.
Namun, ada satu hal yang sangat merisaukan kami. Di balik sifat pendiamnya, Ikhlas sering meninggalkan pesantren tanpa izin. Tidak tanggung-tanggung, frekuensi kaburnya lebih dari sepuluh kali. Semua itu dilakukan di bulan kedua hingga ketiga.
.
Pertama kali kabur, saya dan rekan sejawat dibuatnya kalang kabut. Namun, kami cukup lega, begitu menerima informasi dari ibunya, bahwa Ikhlas telah selamat tiba di rumahnya, di bilangan perbatasan kota Pahlawan. Hal ini membuat saya dan teman-teman mengategorikannya sebagai santri bermasalah dan perlu perhatian lebih.
.
Kali kedua kabur, pun demikian. Harinya berdekatan dengan kabur pertama. Bergegas saya berkoordinasi dengan rekan-rekan untuk membagi tugas melacak keberadaannya. Sungguh, hari yang cukup melelahkan. Di saat saya dan rekan-rekan hampir putus asa, muncul informasi bahwa dia telah tiba dengan selamat di rumahnya. Keesokan harinya, Ibunya dengan tergopoh mengantarkan anak lelaki kesayangannya itu dengan wajah semu merah menahan malu yang dalam.
.
Kabur demi kabur terus saja dilakukan Ikhlas. Sehingga saya dan rekan-rekan mencoba melakukan pendekatan yang berbeda. Bila selama ini, saya terus menerus menasehati dan sesekali memberikan sanksi yang cukup berat, sehingga harapan saya, Ikhlas segera menyadari kesalahannya. Namun, tidak berefek.
.
Saya coba melakukan komunikasi yang cukup intens dengan ibunya. Berbekal informasi dari sang ibu, maka akhirnya saya bisa mengambil kesimpulan bahwa akar permasalahan bukan pada diri Ikhlas. Namun pada pola interaksi orang tua dan anak selama ini.
.
Dari penuturan ibunya, saya temukan kenyataan bahwa sang anak begitu dekat dengan ibunya. Di saat ibunya terbersit memikirkan anaknya, maka saat itu pulalah Ikhlas gelisah tak keruan, hingga menggerakkannya untuk bisa loncat dari lantai dua asrama untuk sekedar hanya menemui ibunda tercinta di rumah.
.
Sebagai bagian dari upaya memberi kenyamanan, saya dan rekan-rekan senantiasa berusaha memberikan wawasan kepada ibunya Ikhlas untuk memasrahkan semuanya kepada Allah Ta'ala. Insya Allah, dengan seizin-Nya, saya dan rekan-rekan berusaha untuk membuatnya enjoy dan tenggelam dalam lautan aktivitas yang melibatkan semua inderanya sehingga kabur dari pesantren tidak lagi terpikirkan.
.
Dari kasus itu, saya belajar beberapa hal. Diantaranya, bahwa setiap pelanggaran santri, ada faktor yang melatarbelakanginya. Itu harus cari akar permasalahannya. Tentunya itu lebih bijak dari pada hanya sekedar fokus pada santri saja, tanpa memperhatikan apa yang mereka lakukan.
.
Begitulah. Menjadi seorang pengasuh pada sebuah seolah boarding tingkat sekolah menengah pertama adalah sebuah tantangan tersendiri. Dibutuhkan niat kuat berdasar keimanan dan sarana pendekatan diri kepada Rabbul 'Aalamin, untuk bisa senantiasa istiqomah di segala keadaan. Mulai membangunkan santri sebelum fajar, menuntun untuk segera mengambil air wudlu untuk shalat tahajjud, menggiring shalat fardhu ke masjid, dilanjut menerima setoran hafalan dan menyimak hafalan yang sebelumnya, mengarahkan untuk segera bersih diri hingga kemudian bersiap menuju ke sekolah.
.
Aktifitas kepengasuhan kembali berlanjut di sore hari. Mulai dari menyambut santri sekembalinya dari sekolah saat sore menyapa, melakukan interaksi layaknya orang tua dan anak saat di rumah, namun pada saat yang sama, juga memosisikan diri sebagai teman terpercaya saat semburat suram terpancar di raut wajah yang tampak gundah.
.
Dialihceritakan kembali dari kisah seorang sahabat.
Adik sepupu saya pertama2 masuk pesantren 2 kali kabur juga. Karena ngga trbiasa pisah dr ibunya jg
ReplyDeleteMemang perlu dilatih mbak. Hehehe.. Tapi, ya, itu. Kadang justru krn ibunya yg gk tahan ditinggal, akhirnya anaknya yg malah gk kerasan....
DeleteWah ketika anakku deketnya sama ibunya..
DeleteHarus bener bener ikhlas sepertinya
Seperti baca pengalaman sendiri, Kaak😁
ReplyDeleteWahahah, ketahuan suka kabur dulu nih.. wkwkwk
DeleteWaah...
ReplyDeleteUntung dulu jadi anak baik pas di asrama, jadi gak bikin pengurus khawatir.
Nice story.
Terima.kasih sudah sharing Ustad
Wah, anak sholeh ini namanya. Hehehe
Delete