Menakar Iman di Toraja Utara
Saya tak kuasa menahan rasa dalam shalat qashar Ashar siang tadi, Rabu (8/2/23)4. Entah rasa itu tentang apa, saya juga tidak tahu. Hanya saja, rasanya seolah ada bulir air mata yang hendak merembes.
Shalat Ashar yang dijamak takdim tersebut menutup pertemuan kami siang itu. Setelah sebelumnya kami diajak keliling mengecek sebidang tanah hibah. Sebuah lokasi peninggalan seorang perwira TNI yang kini bertugas di Papua.
Saya kebetulan diajak oleh Ustadz Sumariyadi dan rombongannya untuk ikut menemani. Kebetulan juga, Sudu dan Rantepao hanya berjarak 1 jam lebih. Karena yang mengajak adalah guru Bahasa Arab saya dulu, ajakan itu gayung bersambut.
Dalam rombongan kami, ada banyak yang menyertai. Ada Ustadz Bur, petugas awal yang dikirim Hidayatullah ke Toraja. Ada juga pak Wahid, putra Toraja asli. Dikawal Rahmat dan Parjo yang bermotor dari Palopo. Dipimpin langsung ustadz Sumar, yang sekarang menjadi Sekertaris DPW Hidayatullah Sulsel.
Yang kami temani mengecek lahan itu namanya Ihsan. Tepatnya, ustadz Ihsan. Alumnus Sekolah Dai Hidayatullah. Masih muda. Sudah 2 tahun ini bertugas di Toraja, dan gencar melakukan penjajakam mengupayakan adanya pesantren Hidayatullah di Toraja Utara.
Tidak ada yang istimewa sebenarnya pada area yang kami survei itu kecuali panas, terik dan pinus yang mengelilingi. Hanya ada beberapa _tedong mentombang_ dalam kubangan alami berisi hujan tampungan. Sekilas, tak ada juga sumber air bumi yang mudah didapat.
Lokasi seluas sekira 2 hektare tersebut berada di kemiringan. Memanjang dari selatan dan terus meninggi ke utara. Di sisi baratnya tebing yang agak curam ke arah bawah. Di timur, berbatasan langsung dengan Lapangan Tembak milik Kodim 1414/Toraja.
“Tapi ini aman pak Ustadz,” terang H. Abdul Hafid Pasiangan, S.E., M.M.
Haji Hafid inilah yang mengajak kami keliling lokasi. Awalnya, lokasi itu milik keluarga mantan paspampres zaman Bj. Habibie tersebut. Lalu dihibahkan ke Letkol Czi Zaenal Arifin, Dandim 1414 Toraja ketika itu.
Karena berada jauh dari lokasi pemukiman dan area perkebunan, sebagian dari lokasi tersebut dijadikan sebagai tempat latihan menembak. Luasnya sekira 1,5 hektare. Sisa dari tanah hibah itulah yang dihibahkan kembali kepada Hidayatullah.
Dari Patung Redong Bonga di Rantepao, lokasi tersebut berjarak sekira 30 km. Tetapi karena medan jalan yang sebagian masih tanah dan batu cadas, membuat waktu tempuh menjadi lebih lama. Hitungan google map, sekitar 1 jam waktu tempuhnya.
Untuk sampai di lokasi, tidak semua kendaraan bisa menjajal. Hanya motor trail atau mobil penggerak double depan-belakang yang mampu. Untungnya, joki kami cukup berpengalaman. Kuda besi beroda empat yang membawa kami dari Rantepao itu sanggup bertahan.
Walaupun pada akhirnya, Innova impor dari Kaltim itu harus istirahat di sebuah masjid -satu-satunya masjid yang terlihat di pinggir jalan di kecamatan Rantebua, Toraja Utara-. Tak sanggup lagi melewati medan yang lebih sulit dijajal.
Kami akhirnya dijemput suruhan Haji Hafid. Ternyata beliau telah menyiapkan Fortuner 4WD untuk menjemput dari batas aspal terakhir. Tetapi agar tak lama menunggu, kami teruskan saja perjalanan. Apalagi joki kami tinggi pengalaman.
Tetapi, kondisi-kondisi itu tak menjadi soal bagi ustadz Ihsan. Kader Hidayatullah berdarah Tolitoli itu mengaku siap me-landing-kan al-Qur’an di lokasi tersebut. Sejak tiba di lokasi tersebut, dia-lah yang terlihat sangat bersemangat. Langsung mengelilngi batas-batas wilayah.
“Di sini nanti bagus didirikan rumah,” katanya sambil membayangkan suasana para santri menghafal al-Qur’an.
Ketika itu, dia berdiri di sebuah dataran yang agak luas di lokasi kemiringan tersebut. Dari situ, pemandangan ke Barat dan Selatan adalah hamparan pegunungan Luwu, Enrekang dan Toraja. Indah dan sedap dipandang karena hijaunya, apalagi bagi mata para penghafal quran.
Pemandangan memang eksotis. Tapi janji-janj kehidupan tak seindah alamnya. Merintis bakal pesantren dengan tetap memikirkan nafkah untuk anak istri, itu bukan perkara mudah. Apalagi dalam kondisi tidak ada sumber pendapatan yang jelas.
Belum lagi menghadapi sebuah kenyataan bahwa di tanah itu, Islam adalah minoritas. Jangankan bicara penganut agama, manusia saja sedikit terlihat. Bising kendaraan pun tak terdengar.
Masya Allah. Kesiapan dia itulah yang membuat shalat saya tak khusyu siang itu. Dalam shalat, saya bertanya-tanya. Apakah saya siap bertugas di sana, jika seandainya beban itu diamanahkan ke pundak rapuh ini.
Benar bahwa Allah adalah Ar-Razzaq. Tetapi, jika pengetahuan otak tentang rezeki itu belum selaras dengan keyakinan bahwa rezeki mutlak kuasanya Allah, tidak ada yang akan sanggup bertahan di tanah itu. Hanya kerbau yang sanggup hidup mentombang.
Dalam shalat, saya bertanya ke hati. Menilisik dan menginterogasi. Bertanya kepadanya, sejauh apa kokohnya iman di sana. Sekuat apa cengkramannya menempel di dada. Mampukah kiranya dia meyakinkan pikiran dan jasad untuk dapat bertahan di bukit tak menjadikan kehidupan itu.
Dialog hati itu terus berlanjut. Sampai pada pertanyaan, seandainya diri ini yang menerima SK penugasan itu, mampukah mental, pikiran dan hati sepakat menjawab iya sebagai respon awal. Apakah ketiganya sejalan seiiringan soal kemungkinan bertahan di sana.
Padahal, keyakinan tentang rezeki adalah kesadaran paling dasar sebagai manusia. Lihatlah orang-orang kafir musyrik di zaman Nabi -shallallau alayhi wasallam-. Mereka adalah orang-orang yang sangat yakin dengan konsep rezezki dari Rabb. Padahal mereka orang yang tidak beriman kepada Allah dalam urusan ibadah.
Akhirnya, di sujud terakhir qashar Ashar siang itu, bulir itu benar-benar merembes. Cukup membuat mata berkaca sebentar. Dan kembali dinormalisasi sesaat sebelum. Agar yang lain tak sadar bahwa ada yang belum sanggup membayangkan akan ada kehidupan di sana.
No comments:
Terima kasih telah berkunjung. Semoga pulang membawa manfaat. Kalau ada yang tidak berkenan, tinggalkan di komentar....