Domino yang Tak Tahu Diri

Kalau mau melihat ragam tipe orang, pergilah ke pasar. Di tempat itu, kita akan menemukan orang dengan berbagai karakter, sifat dan sikap. Kecuali tidak perhatian dengan sekitar, maka kita tidak akan melihatnya.

Seperti ketika sore ini saya ke pasar menemani doi belanja. Dari sekian banyak hal yang ada, saya "tertarik" dengan sekelompok orang yang duduk melingkar. Jumlah sekitar 5 orang. Di tengah mereka sebuah papan karambol terbentang. Mereka tidak main karambol. Sebab papan itu dibalik; bawah menjadi atas.

Tak jauh dari sana, seorang ibu tak berjilbab tampak sibuk dengan pesanan. Di depannya lima piring mie goreng instan berjejer rapi. Sudah masak. Sudah digoreng. Tinggal menabur bumbu dan bawang goreng.

Walau tertarik dengan pemandangan itu, saya tetap fokus dengan agenda belanja. Daftar pertama adalah berburu ikan. Ikan Cakalang, keluarga besar Tuna dan Tongkol adalah yang saya cari.

Lupakan Cakalang. Sebab pada akhirnya saya merasa tertipu. Disusun serapi mungkin, saya hanya periksa bagian teratas. Kulit masih kencang, tubuh masih terasa keras padat, yang berarti masih baru. Ini juga salah satu karakter yang ada di pasar; penipuan jualan.

Sehabis berburu ikan. Sayur bening berikutnya. Lanjut bumbu dan rempah. Dan terakhir buah. Sayang, buah tak terbeli. Harganya melebihi eskpektasi dan isi kantong.

Perburuan selesai, saya balik kanan. Doi bawa sayuran. Saya bagian yang berat. Lewat depan bunderan tadi, saya mulai perhatikan lebih jauh. Masya Allah. Wajah mereka tampak tak memiliki beban. Lepas. Asyik. Tak terganggu dengan kegaduhan pasar.

Piring-piring berisi mie goreng tadi sudah berpindah tempat. Masing-masing berada di samping orang per-orang. Sambil makan, sambil lempar. Bunyi lemparannya khas. Plak. Plak. Susul menyusul. Bergantian mereka melempar berurutan.

Lemparan itu kadang tak langsung berbalas. Mungkin sedang mencerna, menghitung, atau menganalisa. Sebab salah langkah, bisa jadi akan kalah. Salah lempar, bisa jadi blunder. Begitulah permainan itu. Orang biasa menyebutnya dengan Domino.

Sambil lempar, sambil makan. Bahkan sambil nyeruput kopi hitam lagi pahit. Diselingi kepulan asap pembakaran tembakau. Sampai akhirnya, orang yang menghabiskan kartu pertama kalinya disebut pemenang. Dan yang terakhir menghabiskan kartu menjadi terhukum. Ia harus memungut, menyatukan dan membagi kembali kartu. Agar permainan dilanjutkan kembali.

Orang-orang ini, adalah salah satu potret karakter yang ada di pasar. Kita tentu punya pandangan dan tafsiran berbeda. Termasuk saya.

Bahwa saya melihat orang-orang yang santai bahkan cenderung lalai. Ia lupa, bahwa ada Allah Yang Melihat dan tak bisa mereka perdayai. Ataukah mereka tak tahu bahwa kesia-siaan yang mereka lakukan akan ditanyai nanti.

Tapi, saya lalu melihat diri sendiri. "Hei diri. Tak usah kau urusi. Mereka tak perlu kau komentari. Sudahkah kau sadari. Bahwa kau pun sering lalai. Terlalu banyak santai. Banyak yang luput kau kerjai. Banyak amanah yang tak kau sudahi."

Astaghfirullah. Kita, selalunya memang begitu. Urusan dunia, kita lihat yang di atas kita. Urusan akhirat, berlaku sebaliknya. Padahal, Islam mengajarkan kita untuk berbuat sebaliknya. Untuk dunia, belajar dari yang lebih susah. Untuk akhirat, lihat pada yang lebih giat.

Ah, tapi sudahlah. Kita doakan saja dia, mereka, dan kita selalu dalam hidayah, inayah dan ma'unahNya. Aaminn, Allahumma Aamiin.
Domino yang Tak Tahu Diri Domino yang Tak Tahu Diri Reviewed by Ibnu Basyier on Friday, February 15, 2019 Rating: 5

No comments:

Terima kasih telah berkunjung. Semoga pulang membawa manfaat. Kalau ada yang tidak berkenan, tinggalkan di komentar....

ads
Powered by Blogger.