Mading Rasa Baru

Sebenarnya, saya sudah lama gelisah dengan hal ini. Dan, saya sudah bersusaha semampu saya menyampaikan kegelisahan itu kepada pihak yang bertanggung jawab. Hanya saja, mungkin karena berbagai faktor, kegelisahan saya belum terjawab. Mungkin juga karena saya hanya menyampaikan kegelisahan seperti angin lalu. Jadinya, benar-benar berlalu dan pergi begitu saja. Hilang bersama sejuk sepoi angin malam Malang.

Tahun ini, musim berlalu berganti. Pihak yang bertanggungjawab juga ber-substitusi. Kembali saya sampaikan kegelisahan itu. Dan, akhirnya, gayung bersambut. Setelah saya menawari sebuah program, akhirnya, kegelisahan saya itu akan segera terjawab.

Sejak dulu, saya suka dunia menulis. Ada banyak alasan, mengapa saya (dan seharusnya juga kita semua) harus menulis. Orang boleh pandai se-pandai-pandainya, tapi selama ia tak menulis, maka ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Maka, sejak dibangku sekolah menengah, saya berkecimpung di jurnalistik sekolah. Salah satu produknya adalah menerbitkan majalah dinding atau yang lebih dikenal dengan MADING. Dari awalnya menjadi pengasuh sebuah rubrik, seiring perjalanan waktu dan musim berlalu, saya di plot menjadi penanggung jawab semua naskah dengan jabatan redaktur kepala.

Melanjutkan pendidikan di bangku kuliah, saya dan beberapa kawan menginisiatif membuat mini tabloid. Sebetulnya lebih tepat disebut buletin. Tapi, bersebab halamannya ada belasan, maka disebutlah mini tabloid. Kami, para redaktur, menerbitkannya 2 pekan sekali. Lagi-lagi saya diplot sebagai redaktur kepala nyambi sebagai layouter.

Di zaman saya sekolah menengah, sejatinya, internet dan warnet sudah menjamur. ‘Mbak’ (baca: dunia) maya bukan lagi hal yang baru. Tetapi, saya dan kawan-kawan tidak pernah terpikir untuk mengisi mading dan mini tabloid tersebut dengan berbagai tulisan yang berserak di sana. Buat apa, pikir kami, memasukkan tulisan orang tak dikenal ke media sendiri.

Inilah kegelisahan saya tersebut. Berapa lama berada di ma’had ini, sering dan selalu, melihat media tulis seperti mading berisi bukan tulisan orisinil pengurus mading. Isinya hasil copy dan paste dari mbak maya. Menyedihkan sekali. Tragis. Sungguh tragis. Sekian ratus santri di sini, tak ada satupun yang tertarik menulis di mading. Dari sekian banyak mading yang bertebaran di berbagai sudut, (hampir) semuanya juga hasil copy paste –kecuali mungkin pengumuman, ya? –. Bahkan, dari hasil stalking ke berbagai media sosial, kebanyakan kita juga mem-posting tulisan hasil copas. Iya, kan?

Tahun ini, saya kembali menyampaikan kegelisahan itu. Tapi, dengan sedikit penawaran. Di depan penanggung jawab mading ini, saya sampaikan sebuah tawaran untuk belajar menulis. Semacam work-shop, mungkin. Tak disangka, gayung bersambut. Tawaran saya disetujui tanpa pikir panjang. Ketika itu disepakati, setelah liburan semester ganjil, work shop dimulai. Juga disepakati mengambil hari Sabtu setiap pekannya untuk kumpul di perustakaan Masjid.

Alhamdulillah, syukur tak habis saya panjatkan. Sembilan orang yang ikut pertemuan pekanan itu rupanya adalah emas yang terpendam. Belum terlihat kilaunya karena belum digali. Mereka, laksana mobil kehabisan energi. Butuh pendorong agar kembali berfungsi. Sebagai penggali, saya tidak perlu menggali terlalu dalam untuk menemukan kilaunya. Sebagai pendorong, saya tidak perlu mendorong ekstra untuk membuatnya berenergi.

Buktinya, belum sampai belasan pertemuan, hasilnya sudah terlihat; mading rasa baru yang muncul hari ini. Sebuah mading yang murni hasil pikir dan ketikan sendiri. Murni tulisan santri. Ditulis juga untuk santri. Copy paste dari internet, tidak ada lagi. Rupanya, tantangan menghadirkan mading orisinil santri menjadi cambuk tersendiri bagi para redaksi. Walaupun (mungkin) nantinya akan selang-seling dengan mading copy paste, tak masalah untuk sebuah keberanian berinovasi. Toh, yang penting, mading ini sudah tampil berbeda dan berisi.

Dan, inilah obat kegelisahan saya bertahun-tahun.

Maka, saya apresiasi setinggi-tingginya langkah maju nan berani ini. Ada rasa haru dan bahagia menyeruak dari sanubari. Saya yakin, kalau bukan karena keberanian, tidak ada kemajuan seperti ini. Kalau tidak ada kemajuan yang berarti, maka, mading ini hanya akan seperti sebelumnya untuk tahun-tahun selanjutnya; berisi dengan sumber tak jelas dari internet, stagnan, tidak kreatif, itu-itu saja, tak menarik, hasil jiplakan, dsb.

Harapan saya, semoga semangat menulis dan berkarya para redaksi terus terjaga. Dan semangat itu terus diwariskan ke generasi selanjutnya. Lebih jauh, saya berharap mading-mading lain juga ikut berinvovasi dan berimprovisasi. Untuk mengisi mading, tidak perlu mengambil tulisan dari internet. Berdayakan para redaksi. Latih dan biasakan untuk menulis.


Sebagai bentuk dukungan, saya berkomitmen menulis untuk mading ini sepekan sekali. Saya minta kepada redaksi untuk menyiapkan rubrik khusus yang saya kelola sendiri. Saya jarang tampil menyampaikan nasehat secara lisan. Maka, tulisanlah gantinya. Rubrik khusus itu, nantinya, akan menajdi tempat saya berbagi ide, nasehat, dan apa saja yang terlintas untuk ditulis. 
Mading Rasa Baru Mading Rasa Baru Reviewed by Ibnu Basyier on Sunday, April 24, 2016 Rating: 5

No comments:

Terima kasih telah berkunjung. Semoga pulang membawa manfaat. Kalau ada yang tidak berkenan, tinggalkan di komentar....

ads
Powered by Blogger.