Tentang Romantisisme
Suatu malam, saya
diajak makan disebuah warung. Warung ini menawarkan berbagai olahan daging
kambing sebagai menu andalan. Tapi bukan warung yang memberikan makan gratis
dengan ngaji 2 juz seperti yang viral beberapa waktu lalu.
Dalam warung tersebut,
saya melihat pasangan muda-mudi yg sedang bermesraan. Tampaknya, mereka sedang
membangun asa, merajut cinta, menyulam kasih. Saya perhatikan, usia mereka
kisaran 25-an tahun.
Pesanan mereka
sepertinya mujair bakar. Dua ekor untuk dua orang. Mereka makan dari dua piring
berbeda. Yang agak menggelikan, mereka minum dari satu gelas yang sama.
Melihat fenomena ini,
saya senyum-senyum dalam hati. Lucu saja. Mengapa jus jeruk itu hanya satu
gelas. Okelah, kalau ingin lebih romantis minum segelas berdua. Tapi, mengapa
gak sekalian dengan makan sepiring berdua. Kan nanggung.
Saya sendiri, sejak
pacaran, hingga beranak-pinak, belum pernah makan kecuali sepiring berdua. Pun
demikian dengan minumnya. Belum pernah di sini bukan batasan. Sesekali mungkin
pernah pernah. Tergantung situasi dan kondisi.
Bahkan, di rumah
mertua saya di Kalimantan, dan di rumah orang tua saya di Sulawesi, kami juga
makan sepiring berdua. Karena tahu kami demikian, orang-orang di rumah Tarakan
akhirnya memilih mendahulukan kami ketika waktu makan. Mungkin mereka tidak ingin mengganggu kami.
Eits, sebentar.
Pacaran saya jangan disalah artikan. Saya pacaran dengan pacar yang halal.
Bukan seperti pacaran yang didefinisikan kebanyakan orang. Pacar yang halal itu
kalau sudah diakadkan dengan ankahtuka oleh wali si wanita.
Lalu disahkan oleh para saksi yang ada. Dan dicatat oleh KUA di surat nikah
yang dua.
Sejatinya,
romantisisme, dari sudut pandang saya sebagai seorang pria, tidak perlu diumbar
dan dipertontonkan kepada khalayak. Cinta yang kita berikan, kemesraan yang
kita jalin, tidak harus diketahui orang kebanyakan. Cukup menjadi konsumsi pribadi,
how deep our love is. Tontonan kemesraan di khalayak justru memperlihatkan
bahwa itu palsu dan dibuat-buat.
Sebenarnya sih, hal
yang wajar kalau seseorang ingin membagi kebahagiaan kemesraan mereka kepada
orang lain. Apalagi ada ayat yang memerintahkan itu; wa amma bini'mati
robbika fahaddits. "Dan terhadap nikmat dari Tuhan mu, maka ceritakanlah." Kalau pacar yang halal, memang nikmat. Tapi, kalau
bukan, maka azab. Saya sendiri, di awal-awal pacaran, biasa gandengan tangan
kalau sedang jalan. Kalau sekarang, masing-masing kami malah gendong anak.
Tapi, kemesraan yang
orang lain perlu, bukan perlu, tapi boleh, untuk mereka ketahui tentu tak
semuanya. Saya rasa, bergandengan tangan dengan pacar halal cukuplah. Tetap
jaga adab-adab syar'i, budaya lokal, dan falsafah hidup setempat. Yang
lain-lain, not for public.
Romantisisme itu bukan
hanya bergandengan tangan saat jalan, makan sepiring berdua. Romantis itu kalau
kita sanggup berbagi tugas menjaga anak, tak malu dan sungkan nyeboki anak,
yang membawakan keranjang belanja ketika di supermarket, dan lain-lain.
Jadi, kalau masih mau
mengumbar kemesraan anda hanya dengan sepiring berdua atau segelas berdua, itu
pilihan. Harapannya, semoga itu bukan kemesraan palsu atau supaya ada bahan
cerita di facebook dan instagram.
Oh, iya. Kalau
kemesraan itu dengan kekasih yang belum halal, segera temui walinya. Sebab itu
hanya kemesraan semu yang melenakan. Bagi laki-laki, jangan mainkan perasaan
wanita. Bagi wanita, jangan hanya mau jadi permainan laki-laki.
Tentang Romantisisme
Reviewed by Ibnu Basyier
on
Tuesday, October 11, 2016
Rating:
Setuju pak dengan ulasannya
ReplyDeleteMakasih mbak Wid...
DeleteTulisan yang mengingatkan..
ReplyDeleteHem.. Mengingatkan pada seseorang?
Delete