Umar Sang Khalifah dan Ayat 51 AlMAidah


Hari ini, tiba-tiba saja alMaidah ayat 51 menjadi begitu terkenal. Tidak hanya bagi kalangan Muslim yang memang acap membacanya. Tapi juga bahkan menjadi pembicaraan di kalangan no Muslim. Ada apa dengan ayat 51 surat "hidangan" itu?

Allah Ta'laa berfirman:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

Ayat yang terdapat di surat ke-5 itu secara tegas dan jelas melarang kaum Muslimin menjadikan orang yahudi dan nashrani sebagai wali; sebagai pemimpin. Allah menegaskan, orang Muslim yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka orang itu bagian dari mereka.

Hari-hari ini, oleh sebagian orang, ayat ini dijadikan senjata untuk tidak memilih pemimpin yang non Muslim. Dan ini memang benar, dan harus diteriakkan. Agar kaum muslimin tidak sembarang menjadikan orang sebagai pemimpin mereka.

Merasa tidak terima, ada pula orang yang teriak sebaliknya. Golongan ini mengingatkan kepada banyak orang untuk tidak dibodohi dengan ayat tersebut. Seolah ayat tersebut adalah alat pembohongan.

Akibatnya, mudah ditebak. Pendukung 5:51 tidak terima. Wajar. Ketika keyakinan seseorang diganggu, tentu ia akan marah. Maka pantaslah kemudian ketika para pendukung 5:51 ribut menyoal golongan yang yang menggagap keyakinan mereka adalah kebohongan dan pembohongan.

Kini, mari kembali kita buka sejarah. Dalam tafsirnya, ketika menjelaskan ayat ini, Ibnu Katsir mengangkat sebuab kisah yang terjadi di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab.

Kisah ini dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim. Ia mendengarnya dari Katsir bin Syihab yang mendengar langsung dari Muhammad ibnu Said bin Sabiq. Menurut Muhammad, ia mendengar kisah ini dari Amru bin Abi Qays yang mendapat cerita dari Samak bin Harb dari Iyadh.

Iyadh bercerita, bahwasanya, suatu hari Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu memerintahkan Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu 'anhu untuk segera menunjuk pemimpin kepercayaan untuk mencatat pengeluaran dan pemasukan pemerintahan Islam di Syam.

Abu Musa lalu menunjuk seseorang yang beragama nasrani. Oleh Abu Musa, orang tersebut diserahi tugas sebagaimana yang yang diperintahkan khalifah Umar.

Beberapa lama kemudian, ketika melihat lapiran Abu Musa, Umar bin Khaththab pun kagum dengan hasil pekerjaannya. Lalu Umar berkata, "Hasil kerja orang ini bagus, bisakah orang ini didatangkan dari Syam untuk membacakan laporannya secara langsung di depan kami?"

Abu Musa menjawab, "Ia tidak bisa masuk ke tanah Haram (Mekkah dan Madinah)."

"Kenapa? Apa karena ia junub?" Cecar Umar.

"Bukan begitu," Abu Musa menjawab cepat, "Hanya saja, ia adalah seorang Nasrani."

Umar pun langsung marah. Khalifah yang mampu membuat setan lari menjauh ini lalu menegur keras Abu Musa. Ia memukul pahanya dan berkata, "Pecat dia! Cari dan angkat seorang muslim".

Umar lalu membacakan ayat, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu, sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengangkat mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka (kafir). Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim." (alMaidah: 51)

Subhanallah. Inilah Umar. Satu di antara dua tokoh kafir yang sebelumnya sangat diharapkan keIslamannya karena wibawa, keberanian dan ketegasannya. Orang yang mampu membuat syaithan lebih memilih mengambil jalan lain ketika ia melewati jalan tersebut.

Dalam kisah tersebut, Umar tak berfikir panjang dan membuka peluang negosiasi. Tegas dan jelas, ia memerintah Abu Musa untuk langsung mencopot orang nashrani tersebut dari jabatannya. Padahal, tidak ada yang meragukan keprofesiolan kinerja orang tersebut. Bahkan, Umar sendiri yang tersanjung dan takjub dengan kebagusan kerjanya.

Dalam teks haditsnya, Umar berkomentar tentang orang tersebut dengan mengatakan: “إن هذا لحفيظ”. Di sini, Umar menggunakan shighoh mubalaghoh dengan mengatakan hafiizh. Dalam bahasa arab, shighoh mubalaghoh berfungsi  untuk menguatkan dan memberi efek sangat dari arti asalnya; Sesungguhnya orang ini benar-benar seorang yang hafiizh.

Dalam dunia keuangan, orang-orang seperti inilah yang sangat dicari dan cocok menjadi bendahara. Dan itu pulalah alasan Abu Musa mengangkatnya menjadi petugas keuangan. Lalu mengapa masih saja dipecat?

Nah, inilah masalahnya. Kadang, kita terjebak dengan ungkapan “lebih baik pemimpin non muslim tapi jujur, daripada muslim tapi koruptor”. Padahal, pemimpin beragama Islam yang koruptor itu hanya oknum saja. Dan tentu saja tidak dapat mewakili Islam secara keseluruhan. Sangat tidak bisa.

Umar, walaupun jelas-jelas orang tersebut adalah orang yang amanah lagi kredibel, terpercaya lagi professional, tetap saja tidak memberinya kesempatan lagi untuk menjabat sebagai bendahara. Alasannya jelas. Sebab Umar tidak melihat melainkan imannya. Iman lah yang menjadi barometer utama di sini. Adapun kredibilitas, profesionalitas, sifat amanah dan bisa dipercaya, adalah tolak ukur setelah keimanan.

Padahal, amanah petugas nashrani yang diangkat Abu Musa tersebut bukanlah tugas yang strategis. Petugas tersebut juga tidak bisa langung mengambil dan memutuskan kebijakan-kebijakan khusus. Dia hanya bertugas mencatat pemasukan dan pengeluaran keuangan. Zaman sekarang, mungkin tugasnya seperti akuntan.

Ya, inilah tafsir “hidup” dari alMaidah : 51. Bahwa, orang-orang nashrani dan yahudi tidak boleh menjadi wali. Wali itu berasal dari kata waliya – yaliy yang artinya mengikuti. Jadi wali, secara kebahasaan adalah orang yang diikuti. Makna bebasnya, bisa berarti pelindung, penjaga, pemimpin, pembela dan sebagainya.

Umar tentu tak rela rakyatnya di Syam dipimpin (dalam hal keuangan) oleh orang nashrani. Ini bukan rasis. Ini adalah petunjuk keselamatan. Walaupun hanya sebagai akuntan, tetap saja tidak boleh. Apalagi, jabatan yang lebih strategis.

Kalau saja berandai itu tidak dilarang, tentu sangat tepat ungkapan ini: “Jika Umar presidennya, maka orang-orang non Muslim akan dilengserkan dari jabatannya dalam waktu jang sesingkat-singkatnja.”


Terakhir, mari kita memilih pemimpin sesuai tuntunan alQur’an dan hadits shahih. Memilih pemimpin tidak cukup hanya sekedar berdasarkan hati nurani. Pemimpin itu bukan hanya urusan dunia. Tapi juga akhirat. Sebab, esok kiamat, kita akan dikumpulkan dengan pemimpin-pemimpin kita. Jadi, gunakan tuntunan nash syar’i yang ada dalam memilih pemimpin.
Umar Sang Khalifah dan Ayat 51 AlMAidah Umar Sang Khalifah dan Ayat 51 AlMAidah Reviewed by Ibnu Basyier on Wednesday, October 12, 2016 Rating: 5

2 comments:

Terima kasih telah berkunjung. Semoga pulang membawa manfaat. Kalau ada yang tidak berkenan, tinggalkan di komentar....

ads
Powered by Blogger.