Potret The Real Fighter
Suatu hari di kesempatan tausiyah ba'da subuh, saya sedikit memberi nasehat dengan nada tinggi ke santri-santri. Salah satunya adalah soal "fighter" sejati. Fighter dari bahasa Inggris yang berarti petarung.
.
Pemilihan kata ini bukan tanpa alasan. Sejak awal tahun pelajaran, saya memang melihat banyak bermunculan pendekar dan petarung. Tentunya, ini adalah langkah yang perlu diapresiasi dan terus dipupuk. Agar kekuatan Islam yg bertumpu pada diri pemuda tetap eksis dan terjaga.
.
Hal ini juga tentu segendang sepenarian dan seiring senada dgn sabda Nabi shallallaahu alaihi wa sallam yg mengatakan bahwa Allah mencintai mukmin yg kuat.
.
Menariknya, para petarung ini bermunculan dari berbagai aliran. Ahad pagi sebelumnya, saya lihat beberapa taekwondo-in berlatih hingga bermandi peluh. Beberapa hari lalu, beberapa santri pendekar tapak suci izin latihan gabungan di sekolah sebelah. Lebih jauh ke belakang, saya juga pernah melihat banyak karate-ka berlatih dari petang hingga malam menjelang.
.
Dalam sebuah foto yg dirilis salah satu pendekar tersebut di dunia maya, saya lihat bagaimana dia memberi twieo dwi chagi tepat bagian dada lawan. Tendangan twieo dwi itu bukan sembarang tendangan. Semua kekuatan bertumpu pada kaki yang menjadi senjata serangan. Dilakukan dengan sedikit teknik terbang. Kalau lawan lengah, fatal akibatnya. Penampilan itu, gagah dan hebat sekali. Terlihat sebagai lelaki sejati.
.
Tetapi, sayang sekali. Sangat amat disesalkan. Penampilan hebat itu ternyata tak berbanding lurus dengan praktek spiritual yang seharusnya dibangun lebih awal. Bukan hanya yang empunya foto saja yang demikian. Hampir semua pendekar itu, juga demikian adanya.
.
Tampil hebat saat latihan, tapi "lemat syahwat" di urusan ibadah. Tampil garang di depan lawan, tapi tak mampu melawan nafsu tuk penuhi adzan. Mudah melakukan tendangan terbang, tapi tak kuasa mengangkat kaki menuju masjid. Padahal, alasannya cuma sepele; capek habis latihan dan tanding. Allahul musta'an...
.
Point inilah yg menjadi pemicu meledaknya "marah" itu subuh tadi. Saya katakan, bahwa shalat jamaah adalah kewajiban lelaki yang mukallaf. Dan "hanya" perempuanlah yang diberi uzur shalat di rumah. Terlepas dari khilafiyah dalam masalah ini, aturan pondok telah mewajibkan hal itu.
.
Maka, saya tekankan kepada mereka, sesungguhnya petarung sejati adalah yang mampu memimpin nafsunya. Bukan orang yang dikalahkan nafsu lelahnya dan nafsu malasnya. Petarung sejati adalah orang yang mampu membawa lelahnya tetap ke masjid. Yang seperti inilah the real fighter.
.
Subuh itu, si empu foto yang menjadi pemicu ledakan itu kebetulan gak ada di masjid. Padahal beberapa menit sebelum waktu subuh sudah saya bangunkan dengan sprayer. Kelak di pagi harinya diketahui kalau dia ketiduran hingga tak sempat ke masjid subuhan.
.
Sore harinya, ketika halaqoh quran telah dibubarkan, pendekar taekwondo itu datang menghampiri saya. Saya pikir ada sesuatu yang akan ditanyakan terkait materi tajwid yang baru diajarkan. Tapi salah. Ternyata dia menghadap ingin meminta maaf. Meminta maaf atas kesalahannya yang sering ketiduran di waktu subuh. Menyesali diri telah dikalahkan nafsu ngantuknya. Mengakui dirinya salah telah dikibuli nafsu malasnya.
.
Maka, saya katakan, sebenarnya inilah petarung sejati. Saya katakan itu dalam hati. Sejatinya, dialah sebenar-benar petarung sejati; orang yg berani mengakui kesalahan dan kekurangan diri disertai azzam untuk perbaikan hati dan perlawanan terhadap nafsu syaithoni.
.
Mendapat pengakuan penyesalan seperti itu, hati saya lalu terenyuh. Meleleh, layaknya timah yg dipanaskan. Aduhai, gemuruh dada ini terlalu menderu. Tak ingin terlihat "melemah", pendekar itu langsung saya suruh pergi. Ada secercah harap, semoga yang lain juga benar-benar menjadi petarung sejati; the real of the real fighter.
.
.
Pemilihan kata ini bukan tanpa alasan. Sejak awal tahun pelajaran, saya memang melihat banyak bermunculan pendekar dan petarung. Tentunya, ini adalah langkah yang perlu diapresiasi dan terus dipupuk. Agar kekuatan Islam yg bertumpu pada diri pemuda tetap eksis dan terjaga.
.
Hal ini juga tentu segendang sepenarian dan seiring senada dgn sabda Nabi shallallaahu alaihi wa sallam yg mengatakan bahwa Allah mencintai mukmin yg kuat.
.
Menariknya, para petarung ini bermunculan dari berbagai aliran. Ahad pagi sebelumnya, saya lihat beberapa taekwondo-in berlatih hingga bermandi peluh. Beberapa hari lalu, beberapa santri pendekar tapak suci izin latihan gabungan di sekolah sebelah. Lebih jauh ke belakang, saya juga pernah melihat banyak karate-ka berlatih dari petang hingga malam menjelang.
.
Dalam sebuah foto yg dirilis salah satu pendekar tersebut di dunia maya, saya lihat bagaimana dia memberi twieo dwi chagi tepat bagian dada lawan. Tendangan twieo dwi itu bukan sembarang tendangan. Semua kekuatan bertumpu pada kaki yang menjadi senjata serangan. Dilakukan dengan sedikit teknik terbang. Kalau lawan lengah, fatal akibatnya. Penampilan itu, gagah dan hebat sekali. Terlihat sebagai lelaki sejati.
.
Tetapi, sayang sekali. Sangat amat disesalkan. Penampilan hebat itu ternyata tak berbanding lurus dengan praktek spiritual yang seharusnya dibangun lebih awal. Bukan hanya yang empunya foto saja yang demikian. Hampir semua pendekar itu, juga demikian adanya.
.
Tampil hebat saat latihan, tapi "lemat syahwat" di urusan ibadah. Tampil garang di depan lawan, tapi tak mampu melawan nafsu tuk penuhi adzan. Mudah melakukan tendangan terbang, tapi tak kuasa mengangkat kaki menuju masjid. Padahal, alasannya cuma sepele; capek habis latihan dan tanding. Allahul musta'an...
.
Point inilah yg menjadi pemicu meledaknya "marah" itu subuh tadi. Saya katakan, bahwa shalat jamaah adalah kewajiban lelaki yang mukallaf. Dan "hanya" perempuanlah yang diberi uzur shalat di rumah. Terlepas dari khilafiyah dalam masalah ini, aturan pondok telah mewajibkan hal itu.
.
Maka, saya tekankan kepada mereka, sesungguhnya petarung sejati adalah yang mampu memimpin nafsunya. Bukan orang yang dikalahkan nafsu lelahnya dan nafsu malasnya. Petarung sejati adalah orang yang mampu membawa lelahnya tetap ke masjid. Yang seperti inilah the real fighter.
.
Subuh itu, si empu foto yang menjadi pemicu ledakan itu kebetulan gak ada di masjid. Padahal beberapa menit sebelum waktu subuh sudah saya bangunkan dengan sprayer. Kelak di pagi harinya diketahui kalau dia ketiduran hingga tak sempat ke masjid subuhan.
.
Sore harinya, ketika halaqoh quran telah dibubarkan, pendekar taekwondo itu datang menghampiri saya. Saya pikir ada sesuatu yang akan ditanyakan terkait materi tajwid yang baru diajarkan. Tapi salah. Ternyata dia menghadap ingin meminta maaf. Meminta maaf atas kesalahannya yang sering ketiduran di waktu subuh. Menyesali diri telah dikalahkan nafsu ngantuknya. Mengakui dirinya salah telah dikibuli nafsu malasnya.
.
Maka, saya katakan, sebenarnya inilah petarung sejati. Saya katakan itu dalam hati. Sejatinya, dialah sebenar-benar petarung sejati; orang yg berani mengakui kesalahan dan kekurangan diri disertai azzam untuk perbaikan hati dan perlawanan terhadap nafsu syaithoni.
.
Mendapat pengakuan penyesalan seperti itu, hati saya lalu terenyuh. Meleleh, layaknya timah yg dipanaskan. Aduhai, gemuruh dada ini terlalu menderu. Tak ingin terlihat "melemah", pendekar itu langsung saya suruh pergi. Ada secercah harap, semoga yang lain juga benar-benar menjadi petarung sejati; the real of the real fighter.
.
Potret The Real Fighter
Reviewed by Ibnu Basyier
on
Friday, March 03, 2017
Rating:
Petarung sejati adalah yang bisa membawa lelahnya menjadi lillah :)
ReplyDelete