Untuk Indonesia yang Lebih Baik
***
Saya pernah
terpikirkan untuk menginisiasi berdirinya sebuah pesantren bersama melalui
program Patungan Bikin Pesantren #patunganbinikpesantren. Entah sejak kapan
saya berpikiran begitu. Apakah sejak adanya #patunganbikinfilm atau
#patunganbikinmedia atau jenis patungan-patungan lainnya. Saya tidak ingat
persis.
Sejak kecil, saya
sudah berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lain. Mengikut orang
tua yang merantau sejak lajang. Lalu hijrah sana-sini karena amanah pekerjaan. Dengan
hidup berpindah seperti itu, saya jadi banyak mengunjungi berbagai daerah. Saya
pernah di Kalimantan, pernah di Sulawesi, dan sekarang di Jawa. Kurang
Sumatera, Papua dan Nusa Tenggara-Bali, saya sudah mengelilingi Indonesia.
Karenanya, saya
jadi banyak tahu pesantren dan budaya masing-masing pesantren. Ada pesantren
yang menggratiskan seluruh biaya pendidikan dan kehidupan santrinya. Ada yang
menggunakan sistem subsidi silang. Ada yang bahkan tidak memberi ruang untuk
kaum dhuafa.
Mengapa harus
pesantren?
Hari ini, ada
tren yang unik. Kebanyakan orang-tua Indonesia menitipkan anaknya ke
pesantren-pesantren. Data Kemenag, pada tahun 2011, ada 3,65 juta santri di
seluruh Indonesia yang tersebar di sekitar 25.000 pesantren. Setahun kemudian,
jumlah pesantren menjadi 27.230 buah. Jumlah ini sangat jauh meningkatnya dari
tahun 1997 di mana jumlah pesantren ketika berjumlah 4.196 buah.
Ini bukti nyata,
bahwa ada peningkatan kepercayaan kepada pesantren. Kalau dulu kebanyakan
pesantren gratis, kini, dari pengamatan mata saya sendiri di berbagai daerah
yang dikunjungi, pesantren-pesantren sudah mulai memasang tarif. Semakin tahun,
semakin meningkat. Sasarannya memang bukan lagi kaum dhuafa secara ekonomi. Tapi,
lebih kepada golongan ekonomi menengah ke atas.
Akibatnya, kaum
dhuafa tidak bisa lagi belajar di pesantren. Tarif masuk pesantren naik, dan
penghasilan orang tua tetap saja begitu. Ini membuat miris. Sebab, pesantren
seolah kehilangan jati diri. Berlomba-lomba menaikkan tarif pendidikan, lupa
dengan kaum lemah ekonomi.
Melihat fenomena
inilah, saya kemudian terpikir untuk membuat program Patungan Bikin Pesantren.
Atau paling tidak, seharusnya ada orang yang lebih visioner yang memikirkannya.
Mengapa harus
patungan?
Mendidik adalah
pekerjaan berbasis akhirat. Apalagi yang dididik adalah santri. Tentu lebih
besar keutamaannya. Oleh karenanya, pendidikan santri tidak bisa dijadikan
ajang bisnis dan meraih keuntungan apalagi kekayaan. Orientasi membangun santri
adalah orientasi akhirat.
Disinilah
pentingnya, kenapa harus membangunnya secara patungan. Agar setiap orang merasa
memiliki pesantren tersebut. Dan setiap orang yang merasa memilikinya akan
berpikir untuk memajukannya tanpa mengharap keuntungan duniawi.
Patungan di sini
tidak hanya sekedar finansial belaka. Bisa juga dengan patungan ide, patungan
saran, patungan manajemen, dan sebagainya. Semakin banyak orang yang patungan
dalam membangun pesantren tersebut, akan semakin baik. Sebab, akan ada banyak
orang yang memikirkannya.
Yang patungan
dana, memikirkan agar operasional dan pembangunan pesantren lancar. Yang
patungan ide, memikirkan inovasi-inovasi baru terkait pendidikan. Demikia
seterusnya.
Dengan adanya
patungan seperti ini, insyaAllah akan terwujud pesantren yang bukan pesarantren
profit. Santri yang masuk tidak perlu memikirkan macam-macam; uang bulanan,
uang makan, cuci baju, dsb. Semua sudah ditanggung. Santri tinggal memikirkan
belajar dan belajar. Fokus ke pelajaran.
***
Kiranya,
#patunganbikinpesantren inilah yang menjadi jawaban saya untuk pertanyaan di
atas. Untuk Indonesia yang lebih baik, kita harus membangun generasi mudanya.
Didik mereka di pesantren yang bukan pesantren biasa. Pesantren milik bersama
yang dibangun dari pemikiran, ide, dana, sumber daya dan lain-lain yang serba patungan.
Generasi muda
adalah penerus jejak para tetua. Kelak, merekalah yang menjadi
pemimpin-pemimpin negara ini. Kalau sejak muda mereka tidak mendapat pendidikan
yang baik, maka bagaimana mereka bisa memimpin dengan baik. Dan menjadi santri
adalah salah satu ikhtiar untuk menjadi pemimpin masa depan yang lebih baik.
Nantinya, siapa pun
bisa menjadi direktur dari program ini. Tidak mesti nama Ibnu Basyier yang
bertengger di meja pimpinan. Rasanya, saya sudah cukup untuk menjadi inisiator
saja. Dana, saya belum punya. Ide, belum terpikirkan.
Akhirnya, selamat
#patunganbikinpesantren untuk Indonesia lebih baik.
Untuk Indonesia yang Lebih Baik
Reviewed by Ibnu Basyier
on
Wednesday, March 01, 2017
Rating:
Generasi muda adalah penerus jejak para tetua. Kelak, merekalah yang menjadi pemimpin-pemimpin negara ini. Kalau sejak muda mereka tidak mendapat pendidikan yang baik, maka bagaimana mereka bisa memimpin dengan baik. Dan menjadi santri adalah salah satu ikhtiar untuk menjadi pemimpin masa depan yang lebih baik.
ReplyDeleteSetuju banget...