Ketika Akhirnya Ingin Kembali
Yang saya ingat, dia
lumayan borjuis, dan saya terhitung agak cerdas. Dia kurang suka belajar, dan
saya suka berbagi tugas belajar. Klop-lah
sudah. Dia suka nraktir saya, bahkan kadang ngajak saya ke Sentral, dan saya
suka beri dia contekan PR saya, bahkan jawaban ujian saya. Kami saling butuh
satu sama lain; dia butuh nilai pelajaran, saya butuh makan.
Selepas lulus, rupanya
kami tak lagi bisa bersama. Dia menetap di Kota Daeng melanjutkan kuliah dan
mengejar asa menjadi pengusaha, sedang saya bertolak ke Kota Minyak meneruskan
jejak Aba saya, setelah sebelumnya hampir lulus dengan gelar S.AP di
Universitas Hasanuddin Makassar.
Kami berpisah, tidak saja soal peruntungan. Juga berkaitan dengan soal idealisme. Dia, sejak lulus sekolah, memilih keluar dari pondok yang telah memberinya banyak pengalaman dan pelajaran tentang hidup. Sesekali, ia tetap datang berkunjung. Hingga akhirnya, seiring kesuksesan usaha dan kesibukan belajar, ia semakin jarang menjenguk pondok. Dan sejak itu, ia semakin jauh dari “cahaya”.
Sebakda lulus itu, otomatis kami juga tidak pernah bertemu. Kami tak pernah lagi bertatap muka. Kami hanya bertemu di dunia maya. Itupun saya hanya ala kadarnya saja, sebab aturan kuliah saya membatasi hubungan dengan dunia maya. Praktis, hubungan kami menjadi semakin berjarak.
Lepas kuliah, lalu hijrah ke Kota Apel, tetap saja hubungan saya dengan dia demikian. Saya mengetahui kabarnya hanya lewat wall facebook. Saya tak tertarik untuk memberi komentar di status-statusnya. Dia sukses menjadi pebisnis dan pengusaha. Satu saja yang kurang, dia belum sukses mencari istri. Sedang saya sudah beranak-pinak; dua lelaki.
Hingga hari itu, tepatnya kemarin, saya mendapat telpon dari seseorang. Nomor baru. “Assalamualaykum," sapanya membuka dialog. Suaranya mengingatkan saya seseorang.
"Siapa, ya?" saya tanya lebih lanjut setelah menjawab salamnya.
"Masak sudah lupa?" Ia mencoba memancing ingatan.
"Ihsan, ya?" saya menebak agak ragu sambil menyebut namanya.
"Iya. Siapa lagi. Masak, sih, udah lupa dengan teman sendiri." Jawabnya cepat sambil mencoba membuka lembaran-lembaran kisah masa putih abu-abu kami dulu.
Akhirnya, kami ngobrol lepas sambil bertanya kabar dan banyak hal lain. Saya lebih banyak diam dan hanya menanggapi seperlunya. Ada rasa yang berbeda saat ini. Tentu saja, pikir saya. Kami sudah berpisah berbilang tahun lamanya.
Dia banyak berbicara soal keadaannya. Wajar saja. Tidak ada angin membawa asap, tiba-tiba ada api menyala membara, orang tentu heran dan bertanya-tanya. Lama tak ada kabar, lama tak bersua, tiba-tiba menelpon berbicara keadaan diri, tentu ada sesuatu dalam hati.
Benar saja. Rupanya, ia merasa, rohaninya kosong dan gersang. Lama dilanda kemarau, ia merasa jiwanya kering. Ia butuh hujan yang lebat agar hatinya kembali tumbuh berkembang. Jiwanya butuh asupan gizi agar kembali bisa kenyang.
Dalam cerita panjangnya, ia sangat berharap dapat berjumpa saya di Malang. Ia berjanji, ia akan bercerita lebih panjang dan lebih lebar tentang apa yang terjadi.
Sebelum menutup telpon, ia bertanya hati-hati, "Bolehkah saya kembali ke nyantri di pondok?" Kira-kira, begitulah tanya yang masih menyisakan jawab tersebut terlontar mengakhiri pembicaraan.
Ketika Akhirnya Ingin Kembali
Reviewed by Ibnu Basyier
on
Wednesday, May 10, 2017
Rating:
No comments:
Terima kasih telah berkunjung. Semoga pulang membawa manfaat. Kalau ada yang tidak berkenan, tinggalkan di komentar....