Doa yang Tertinggal pada Mimpi ke-27
**
"Ardi, perlengkapannya dicek lagi," teriak ibu dari arah dapur. Suaranya ditahan-tahan agar tidak mengganggu tetangga sebelah yang mungkin masih terlelap.
.
Hari memang masih pagi sekali. Ufuk timur masih gulita. Sesekali kokok ayam jantan membelah sunyi. Belum ada tanda-tanda kehidupan di bilik-bilik penduduk. Kesibukan hanya nampak pada sebuah rumah gubuk hampir roboh di ujung kampung. Dari sanalah sumber suara itu berasal.
.
"Iya, bu," Ardi balas setengah teriak, "sudah beres semua, kok." Sama seperti ibu, Ardi berusaha menahan suaranya. Adik-adiknya masih tertidur. Bapak masih tersungkur dalam sujud panjangnya. Ardi tak ingin mengganggu mereka.
.
"Sini sarapan dulu kalau gitu." Panggilan ibu segera direspon Ardi. Sekian detik kemudian, Ardi sudah duduk lesehan di depan hidangan. Walau ibu menyebutnya sarapan, tapi itu lebih tepat disebut sahur.
.
"Jangan lupa doanya nanti, ya? Ingat, usaha keras tidak cukup untuk modal sukses. Harus tetap dibarengi doa pada Gusti Allah. Tanpa restu dan ridho-Nya, percuma saja semua usaha. Walau nantinya sukses, tetap gak berkah." Sambil makan, telinga Ardi konsentrasi pada petuah-petuah ibu.
.
Hari itu, Ardi akan menjalani salah satu fase penting dalam sejarah hidupnya. Ia akan menempuh ujian Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Ia harus menyiapkan diri sejak dini hari agar tidak telat tiba di kampus tempat ujian.
.
Untuk menghadapi SBMPTN tersebut, ia sudah berusaha maksimal belajar mandiri. Sejak Ujian Nasional (UN), ia sudah fokus dengan soal-soal SBMPTN. Baginya, tidak ada waktu istirahat. Untuk mewujudkan mimpinya masuk fakultas kedokteran, ia harus merelakan waktu santainya.
.
Selama ini, mimpi-mimpinya selalu menjadi kenyataan. Dalam daftar mimpi tahunan, masuk kedokteran berada di nomor ke-27. Impiannya mendapatkan nilai UN tertinggi se-kabupaten yang berada di urutan ke-26 baru saja terwujud.
.
"Mimpi ke-27 harus terwujud," begitu batinnya selalu berbisik. Ia meyakini, kerja kerasnya dalan belajar untuk masuk kedokteran sudah maksimal. Bahkan soal-soal SBMTPN tahun-tahun sebelumnya sudah ia lahap habis. Baginya, mimpi itu hampir nyata.
.
Berbekal usaha maksimal tersebut, ditambah keyakinan bahwa mimpinya selalu terwujud, Ardi melangkah yakin meninggalkan rumah. Kepada bapak-ibu ia tak lupa pamit dan memohon restu.
.
3 jam kemudian, ia sudah berkutat dengan soal-soal. Ia duduk di deretan terdepan. Dengan mudah, soal-soal dipecahkan. Tampak mudah sekali.
.
Detik ke menit menjadi jam. Tak terasa, soal sudah hampir habis. Seiring dengan alokasi waktu yang semakin menipis. Mungkin karena merasa mudah, ia jadinya santai. Bahkan terlalu santai. Dan kini, di penghujung waktu, tersisa 10 soal lagi yang belum terjawab.
.
Menit berikutnya, Ardi mulai gelisah. 10 soal itu terkesan mudah. Tapi, waktu yang menipis berubah menjadi tekanan. Ia tak siap. Mentalnya mulai runtuh perlahan. Gelisah semakin menjadi.
.
Ketika kegelisahan hampir sampai klimaksnya, Ardi menyadari satu hal. Ia lupa petuah ibunya pagi tadi. Segera ia berucap istighfar tiga kali.
.
"Ya, Allah. Maafkan aku yang telalu PD dengan usaha sendiri. Aku lupa mengawali ujian ini dengan meminta kemudahan dari mu. Aku lupa memohon ridho dan berkah dari Mu." Hatinya menjerit. Apa daya, waktu tidak dapat diputar kembali.
.
Kini 5 menit waktu yang tersisa. Dan Ardi masih tetap pada penyesalannya. Tersisa 5 soal yang belum terjawab. Tidak mungkin bisa menyelesaikannya dalam 5 menit terakhir. Hanya kepasrahan yang dapat ia lakukan.
.
"Mungkin mimpi ke-27-ku belum saatnya terwujud," hatinya berbisik. Ada setitik kecewa di sana. Tapi, sebuah pelajaran berharga ia dapatkan.
.
"Apapun mimpi kita, tetap gantungkan ia kepada Allah. Setinggi apapun, sandarkan sepenuhnya kepadaNya. Sebab hanya Dia-lah yang sanggup mewujudkan setiap mimpi."
.
Hari memang masih pagi sekali. Ufuk timur masih gulita. Sesekali kokok ayam jantan membelah sunyi. Belum ada tanda-tanda kehidupan di bilik-bilik penduduk. Kesibukan hanya nampak pada sebuah rumah gubuk hampir roboh di ujung kampung. Dari sanalah sumber suara itu berasal.
.
"Iya, bu," Ardi balas setengah teriak, "sudah beres semua, kok." Sama seperti ibu, Ardi berusaha menahan suaranya. Adik-adiknya masih tertidur. Bapak masih tersungkur dalam sujud panjangnya. Ardi tak ingin mengganggu mereka.
.
"Sini sarapan dulu kalau gitu." Panggilan ibu segera direspon Ardi. Sekian detik kemudian, Ardi sudah duduk lesehan di depan hidangan. Walau ibu menyebutnya sarapan, tapi itu lebih tepat disebut sahur.
.
"Jangan lupa doanya nanti, ya? Ingat, usaha keras tidak cukup untuk modal sukses. Harus tetap dibarengi doa pada Gusti Allah. Tanpa restu dan ridho-Nya, percuma saja semua usaha. Walau nantinya sukses, tetap gak berkah." Sambil makan, telinga Ardi konsentrasi pada petuah-petuah ibu.
.
Hari itu, Ardi akan menjalani salah satu fase penting dalam sejarah hidupnya. Ia akan menempuh ujian Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Ia harus menyiapkan diri sejak dini hari agar tidak telat tiba di kampus tempat ujian.
.
Untuk menghadapi SBMPTN tersebut, ia sudah berusaha maksimal belajar mandiri. Sejak Ujian Nasional (UN), ia sudah fokus dengan soal-soal SBMPTN. Baginya, tidak ada waktu istirahat. Untuk mewujudkan mimpinya masuk fakultas kedokteran, ia harus merelakan waktu santainya.
.
Selama ini, mimpi-mimpinya selalu menjadi kenyataan. Dalam daftar mimpi tahunan, masuk kedokteran berada di nomor ke-27. Impiannya mendapatkan nilai UN tertinggi se-kabupaten yang berada di urutan ke-26 baru saja terwujud.
.
"Mimpi ke-27 harus terwujud," begitu batinnya selalu berbisik. Ia meyakini, kerja kerasnya dalan belajar untuk masuk kedokteran sudah maksimal. Bahkan soal-soal SBMTPN tahun-tahun sebelumnya sudah ia lahap habis. Baginya, mimpi itu hampir nyata.
.
Berbekal usaha maksimal tersebut, ditambah keyakinan bahwa mimpinya selalu terwujud, Ardi melangkah yakin meninggalkan rumah. Kepada bapak-ibu ia tak lupa pamit dan memohon restu.
.
3 jam kemudian, ia sudah berkutat dengan soal-soal. Ia duduk di deretan terdepan. Dengan mudah, soal-soal dipecahkan. Tampak mudah sekali.
.
Detik ke menit menjadi jam. Tak terasa, soal sudah hampir habis. Seiring dengan alokasi waktu yang semakin menipis. Mungkin karena merasa mudah, ia jadinya santai. Bahkan terlalu santai. Dan kini, di penghujung waktu, tersisa 10 soal lagi yang belum terjawab.
.
Menit berikutnya, Ardi mulai gelisah. 10 soal itu terkesan mudah. Tapi, waktu yang menipis berubah menjadi tekanan. Ia tak siap. Mentalnya mulai runtuh perlahan. Gelisah semakin menjadi.
.
Ketika kegelisahan hampir sampai klimaksnya, Ardi menyadari satu hal. Ia lupa petuah ibunya pagi tadi. Segera ia berucap istighfar tiga kali.
.
"Ya, Allah. Maafkan aku yang telalu PD dengan usaha sendiri. Aku lupa mengawali ujian ini dengan meminta kemudahan dari mu. Aku lupa memohon ridho dan berkah dari Mu." Hatinya menjerit. Apa daya, waktu tidak dapat diputar kembali.
.
Kini 5 menit waktu yang tersisa. Dan Ardi masih tetap pada penyesalannya. Tersisa 5 soal yang belum terjawab. Tidak mungkin bisa menyelesaikannya dalam 5 menit terakhir. Hanya kepasrahan yang dapat ia lakukan.
.
"Mungkin mimpi ke-27-ku belum saatnya terwujud," hatinya berbisik. Ada setitik kecewa di sana. Tapi, sebuah pelajaran berharga ia dapatkan.
.
"Apapun mimpi kita, tetap gantungkan ia kepada Allah. Setinggi apapun, sandarkan sepenuhnya kepadaNya. Sebab hanya Dia-lah yang sanggup mewujudkan setiap mimpi."
Doa yang Tertinggal pada Mimpi ke-27
Reviewed by Ibnu Basyier
on
Thursday, May 18, 2017
Rating:
Merinding bacanya ustad, terima kasih sudah mengingatkan.
ReplyDeleteHal yang sering kulupa T.T
ReplyDeleteTerima kasih sudah diingatkan
Self reminder
ReplyDeleteAku jg kdg lupa. Makasih ustadz
ReplyDeleteKadang sebagai manusia kita memang takabur, ya...
ReplyDelete