Menghadapi Kelas Neraka

Entah apa yang melatarbelakangi hingga saya terpilih menjadi wali kelas, sekitar tahun lalu. Dan tidak tanggug-tanggung, saya langsung didapuk menangani kelas inferior. Walau tidak menemukan alasan dibalik penempatan saya tersebut, saya tetap menerima amanah itu dengan bismillah.

Saya menyebut kelas tersebut inferior bukan tanpa alasan. Di kelas ini, berkumpullah anak-anak didik yang super kreatif dan sangat aktif. Jika kita diam, mereka membuat ulah. Jika dikerasi, mereka jadi lebih keras bahkan melawan.

Tak jarang ada guru yang masuk ke kelas mereka dan mendapat terikan huuu. Soal-soal dan lembar tugas yang diberikan, kebanyakan dibiarkan begitu saja. Tak disentuh dan tidak dikerjakan. Itulah kelas mereka dengan nama Robbani.

 “Jika masuk kelas Robbani, seakan-akan masuk kelas neraka” ujar salah satu guru IPS. Sepenggal kalimat yang terucap dari guru tersebut, disampaikan ketika rapat koordinasi pekanan di hari Sabtu. Kalimat-kalimat yang tidak pernah saya dengar sebelumnya, menjadi terngiang di setiap saat dalam kehidupan saya. Bagaimana tidak, julukan bagi kelas saya adalah Kelas Neraka. Kelas yang konon, jika masuk di dalamnya, bukan semakin adem tapi semakin gerah dan panas. “lha iya, masa’ saya menerangkan capek-capek, mereka asyik tidur. Sudah disiram dengan air, bukannya bangun, malah semakin nyenyak” timpal salah satu guru. “Siapa wali kelasnya?” ujar yang lain. “Pasti anak-anak robbani lagi ini yang dibahas” tambahnya lagi.

Lontaran demi lontaran yang keluar dari lisan seorang guru, menggambarkan bahwa inilah suasana yang terbangun dalam kelas tersebut. Setiap pekan, selalu ada yang melaporkan berbagai kesalahan dan kekurangan kelas saya. Bukan hanya satu guru, bahkan semua guru yang mengajar di kelas saya, selalu menyampaikan berbagai keluhan dan keluhan. Tidak hanya sekali, bahkan berkali-kali sampai-sampai saya tidak hafal, ribuan kata yang sudah saya catat demi masukan kelas saya.

Sejauh apa pun kaki melangkah, umur kita akan berakhir juga. Kelak, di suatu waktu yang kita tak pernah tahu kapan datangnya, Allah Ta’ala akan mengirimkan utusan-Nya untuk menemui kita dan mengantarkan ruh kita ke hadapan-Nya. Akan ada tangis dan rasa kehilangan bagi orang-orang yang kita tinggalkan, meski tangis itu mungkin tertahan di dalam dada. Akan ada doa-doa yang diucapkan sebagai ungkapan cinta yang begitu besar, meski sebesar-besarnya cinta mereka tak akan mau menemani kita dalam kubur. Maka ketika itu, segala bentuk penghormatan tak berguna lagi. Hanya tiga yang masih bisa kita harapkan selain amal-amal yang sudah selesai pencatatannya: ilmu yang bermanfaat, amal jariyah, dan anak-anak shalih yang mendoakan.

Kalau hari ini kita berharap mereka, anak didik kita itu menjadi orang-orang hebat, punya gelar yang berderet-deret panjang, memiliki catatan prestasi yang tinggi, dan pada waktu sekolah mereka selalu menjadi bintang kelas, maka itu semua tak lagi kita butuhkan ketika malaikat Allah dating bertamu kepada kita untuk memeriksa amal-amal kita. Tepuk tangan tak lagi indah untuk dikenang jika ia hampa dari kebaikan. Prestasi menakjubkan tak lagi membahagiakan jika tak disertai dengan keimanan. Bahkan doa-doa yang mereka panjatkan, tak ada artinya bagi kita jika tidak disertai keshalihan. Bukankah doa-doa mereka hanya akan berguna apabila dipanjatkan dengan jiwa yang penuh keshalihan? Waladun shalihun yad u lah berkamakna keshalihan yang diiringi dengan kesediaan untuk mendoakan orangtuanya.

Ya, saya yang sudah ditunjuk sebagai wali kelas, adalah pengganti orang tua mereka. Bagaimana tidak, apapun bentuk kesukaan atau ketidaksukaan mereka, mereka sampaikan ke saya. Bukankah, saya sudah menggantikan posisi orang tua mereka? Pertanyaan inilah yang selalu saya coba telusuri lebih dekat. Sebagai orang tua, maka setidaknya tahu permasalahan yang terjadi pada anak didiknya. Bukan semakin menjauh, bahkan menjustifikasi sebagai anak orang lain. “Ngapain capek-capek ngurusin anak orang lain, anak kita sendiri saja belum tentu” itulah sepenggal kalimat sinis yang pernah saya dengarkan ketika saya ingin mencoba mendekati dan mendalami jiwa mereka.

Di setiap pertemuan pelajaran saya, kebetulan saya mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia. Setiap kali selesai menulis dan memberikan materi, saya mencoba untuk berkomunikasi dengan mereka. Menggunakan bahasa mereka. Menggunakan gaya mereka. Ya.... sedikit-sedikit saya menyusupi dengan bahasa-bahasa gaul yang selama ini mereka gunakan. Komunikasi ini berjalan hamper setiap selesai mengajar. Bahkan, pembelajaran bahasa Indonesia justru menjadi korbannya. Bagaimana tidak, materi yang cukup njlimet dan mumet tentang kaidah kebahasaan, justru saya ganti dengan cerita dan ngobrol. Bahasa kerennya adalah Curahan Hati. Hehehehe

Setiap mereka curhat, seringkali yang disampaikan adalah berkaitan dengan cap mokong pada mereka dari beberapa guru. Ya.... mokong. Bahasa Indonesianya adalah nakal. Karena nakal bagi mereka adalah berbeda dengan pemahaman mereka. Jika selama ini mereka mokong sebagai bentuk “aktif”, maka ya itulah mereka. Kalaupun mereka ramai di kelas, mereka tidur di kelas, mereka klotekan atau memukul-mukul di kelas, dikarenakan apa yang disampaikan oleh guru mereka dianggap tidak mengena di hati mereka. Bayangkan, kalau hanya sekedar mengajar mereka seperti pembelajaran di kelas-kelas lain, maka akan berbeda rasanya jika itu diterapkan di kelas saya. Tidak banyak yang akan mendengarkan jika pembelajaran guru hanya bertumpu pada satu titik pengajaran, tetapi tidak melihat siapa objek yang diajar (santri).

Sehingga, saya mengambil jalan tengah waktu itu. Pelajaran Bahasa Indonesia yang saya sampaikan, lebih sederhana dan tidak terlalu tinggi (muluk-muluk), tetapi setelah pembelajaran, saya arahkan mereka untuk bercerita bagaimana kehidupan mereka selama ini. Baik itu di kelas, di masjid, bahkan di asrama. Sehingga, yang terjadi justru mereka sangat antusias dan semangat. Suatu ketika, saya ingin memberikan pelajaran tentang cerita pendek (cerpen), yang mana cerpen tersebut saya ambil dari tulisan yang tidak bertuan di dinding sekolah TK ABA 33 Cita Insani Griya Shanta, dengan judul ‘Ayah’. Di sana digambarkan bagaimana seorang anak dalam cerita tersebut, putri –red, tidak pernah menghiraukan ayahnya yang selama ini justru dial ah yang sangat perhatian terhadap putri semata wayangnya dibanding ibunya sendiri. Dalam cerita tersebut, digambarkan bahwa, selama ini kerja kerasnya ayah hingga menyekolahkan putrinya sampai ke tingkat tinggi. Ibu yang selama ini disenangi dan dipuji setiap kali bertemu, justru terpancarlah wajah senyum manis ayahnya. Bahkan, ayahnya yang selama ini kondisinya sakit parah, mau mengantarkan putrinya ke sebuah stasiun kereta ketika akan berangkat kuliah. Si putri yang selama ini mengetahui dan selalu mendengarkan suara ibunya di sambungan telepon, justru di belakang ibunyalah ayah tersebut tersenyum bahagia. Padahal niatan untuk menelepon putrinya justru muncul dari ayahnya. Ya, itulah sepenggal cerita “ayah”.

Justru dengan saya sodorkan cerita tersebut, subhanallah tidak disangka, anak yang selama ini saya anggap sebgai anak yang “superior”, justru meleleh air mata membasahi pipinya. Ya.... menangis. “Kenapa mas matanya merah” tanyaku pada anak tersebut. “Ingat ibu ustadz....” jawabnya. Bagiku ibu adalah segalanya. Ibu adalah orang yang selalu perhatian dan saying kepada saya. Saya pun teringat dengan ibu waktu itu. “Saya sering berbicara kotor, sering bantah, sering marah kalau disuruh, setelah membaca ini, saya jadi teringat sama ibu” timpalnya sambil mengusap air matanya.

Ya Allah.... rasa-rasanya hati saya seperti diguncang gunung yang sangat berat.... Bagaimana tidak, cerpen yang saya dapatkan, justru membuat dia luluh dan semakin tenang hatinya. Dengan mengucap rasa syukur kepada Allah, sedikit-sedikit nasehat muncul dari mulut yang pernah berbuat dosa juga. “Mas, ibu dan ayahmu di rumah sekarang, bisa jadi sangat bangga padamu, bagaimana tidak, beliau sangat bangga punya anak seperti kamu. Bayangkan, anak dari temannya sekarang justru semakin nakal dan tidak teratur, dikarenakan lingkungan anak temannya yang tidak mendukung untuk belajar. Jadi, beliau ayah dan ibumu sangat beruntung, kamu berada di sini mau belajar dan mondok di sini” bisikku kepadanya. “Sekarang, berbuatlah sebaik mungkin untuk kedua orangtuamu di rumah. Dengan cara apa? Jadilah anak yang penurut. Baik di kelas, di asrama, di luar kelas, di masjid, dan dimanapun.”
Satu demi satu, semua anak saya ajak untuk berdialog. Sungguh di luar dugaan saya, semua mau menuruti apa yang saya sampaikan. Bahkan, ada yang saya ajak makan di luar, walaupun dengan biaya sendiri. Hehehe. Saya ajak untuk bermain futsal, menguras kolam ikan lele, bahkan untuk panen jambu. Di sanalah tempat saya untuk masuk kea lam dan dunia mereka. Sehingga, lambat laun stigma yang melekat pada mereka, bahkan di kelas yang dikatakan sebagai kelas neraka, semakin lama semakin membaik. Saya percaya, suatu saat, mereka akan sukses dan akan mengingat apa yang pernah kita perbuat bagi mereka. Mereka akan mengingat kebaikan-kebaikan yang pernah mereka dapatkan, daripada yang lainnya.

Ya Allah, jadikanlah anak didik kami kelas VIII Robbani sebagai generasi Robbani. Generasi yang kelak akan memikul amanahMu. Generasi yang kelak akan menyebarkan kebaikan, di manapun dan kapanpun.

“Robbi habli minassolihin.... Ya Tuhanku, berilah aku anak yang termasuk orang-orang yang sholeh.


Kisah ini masih terlalu "hancur". Belum diedit secara menyeluruh. Kisah ini nyata, dan sedang dalam proses editing untuk disempurnakan oleh Guru Ngaji Blogger.
Menghadapi Kelas Neraka Menghadapi Kelas Neraka Reviewed by Ibnu Basyier on Saturday, May 06, 2017 Rating: 5

No comments:

Terima kasih telah berkunjung. Semoga pulang membawa manfaat. Kalau ada yang tidak berkenan, tinggalkan di komentar....

ads
Powered by Blogger.