Menjadi Tim Elit

Pada sesi menulis “pengalaman menarik” kemarin malam, seorang santri saya menuliskan kisahnya yang menakjubkan. Saya yang merasa takjub dengan ceritanya tersebut, memanggilnya secara terpisah. Kami berhadapan berdua saja. Hanya ingin memperjelas ceritanya tersebut.

Di jenjang SMP, si santri, sebut saja Firman, diberi amanah menjadi tim elit. Tim elit ini terdiri dari sekitar 15 santri pilihan. Dipilih langsung dari sekitar 140-an santri lain setingkatnya. Tugasnya adalah memimpin kawan-kawan lainnya di kelas IX untuk mengikuti seluruh kegiatan sekolah – asrama.

Menjadi tim elit ini, mengharuskan Firman dan anggota lainnya untuk selangkah lebih maju dari kawan lainnya. Waktu tahajjud, mereka harus bangun duluan agar bisa membangunkan yang lainya. Sebelum berangkat sekolah, mereka dituntut untuk rapi terlebih dahulu sebelum yang lainnya. Begitu seterusnya.

Melihat perkembangannya di kelas X, dan membaca kisahnya di kelas IX, saya melihat ada yang tidak sinkron. Di kelas IX (3 SMP), ia begitu rajin. Tidak telatan. Bangun lebih awal. Selalu terdepan daam berbagai kegiatan. Tapi di kelas X (1 SMA), itu tidak terulang kembali. Bahkan bisa dikatakan bertolak belakang.

Menyadari hal itulah, maka saya memanggilnya secara khusus. Empat mata. Berhadapan. Tidak ada orang lain.

“Melihat sikapmu selama di kelas X ini, saya kok merasa aneh dengan ceritamu tadi,” saya bertanya to the point.

“Sebenarnya saya aslinya bisa rajin, pak,” jawabannya diplomatis.

“Lah, terus?” Saya tambah heran.

“Kalau dikasih amanah, saya bisa rajin.” Jelas dan lugas.

Ternyata, amanahlah yang membuatnya rajin dan disiplin di kelas IX. Dan karena tidak diberi amanah lagi di kelas X, maka ia memilih hidup santai dan nyaman. Tidak perlu lagi harus bangun lebih awal untuk membangunkan yang lain. Keluar dari asrama menuju sekolah tidak perlu harus cepat-cepat.

Di tengah cerita panjangnya, saya teringat sebuah perkataan: pekerjaan akan mem-pola pemikiran seseorang. Seseorang alumnus tekhnik, tapi bekerja sebagai wirausahawan, tentu pemikirannya akan berbeda. Ia tidak lagi berpikir rumus-rumus njelimet dunia tekhnik. Tapi yang ada di pikirannya sekarang adalah bagaimana usaha bisa maju dan berkembang. Inilah yang dimaksus pekerjaan mem-pola pemikiran seseorang.

Firman, walau statusnya sama-sama santri yang lainnya, diberi amanah (baca: pekerjaan) lain oleh murobbi. Bersebab tambahan amanah tersebut, akhirnya ia berfikir untuk men-sukseskan amanah tersebut. Pola pikirnya menjadi berbeda dengan kebanyakan santri lain yang tidak termasuk anggota tim elit. Maka ia lebih rajin dan disiplin karena tanggung jawab dari amanah tersebut.

Sepeninggalnya, saya lalu berfikir untuk memberinya amanah. Jujur, saya hampir berada pada puncak kebosanan mengingatkan Firman atas kelakuan indisiplinernya. Mumpung tengah tahun pertama masih setengah jalan. Tidak terlambat untuk memberinya sedikit tambahan amanah. Menjadi ketua kamar mungkin pas. Agar pola pikirnya untuk hidup lebih santai dan nyaman segera hilang.


Menjadi Tim Elit Menjadi Tim Elit Reviewed by Ibnu Basyier on Sunday, May 07, 2017 Rating: 5

No comments:

Terima kasih telah berkunjung. Semoga pulang membawa manfaat. Kalau ada yang tidak berkenan, tinggalkan di komentar....

ads
Powered by Blogger.