Santri Bicara Cinta
Sebakda menyimak hafalan
maghrib – isya tadi, saya disuguhi pertanyaan oleh seorang santri. Sebut saja
Adna. Pertanyaannya tersebut berbungkus curhat, sebenarnya. Hanya saja, agar
terlihat gentle, ia menyebutnya dengan “pertanyaan”.
“Ustadz, saya mau
tanya,” prolognya dengan agak malu, “tapi jangan dimarahi, ya?” Pintanya sambil
menanti persetujuan dari saya. Saya setujui syaratnya tersebut dengan anggukan
meyakinkan.
Dan berceritalah
ia tentang kisah cintanya. Awalnya masih malu-malu. Takut saya memarahinya
karena bawa-bawa cinta dan perempuan dalam cerita. Sesuatu yang memang agak
tabu dalam kamus hidup seorang pelajar Islam (baca : santri).
Dikisahkannya, ia
punya kenalan seorang cewek. Kakak kelasnya sewaktu SMP dulu. Walau demikian,
usia mereka hanya terpaut 6 bulan saja. Si cewek tua di usia. Tapi si Adna
menang besar badan.
Sejak masuk sekolah
asrama ketika SMA 2 tahun lalu, Adna sudah tidak pernah bertemu lagi dengan si
cewek. Cewek tersebut sedang koonsentrasi menghafal di sekolaha asrama khusus
menghafal. Setahun berikutnya, giliran Adna yang masuk SMA. Ia memilih sekolah
asrama yang berbeda, walau masih sekota dengan si cewek.
Hubungan mereka
akhirnya hanya sebatas chit-chat di media sosial. Itupun tidak langsung
berbalas karena berbenturan dengan regulasi. Liburan yang tidak bareng
menjadikan mereka tak pernah bertemu muka lagi. Belum lagi aturan di sekolah si
cewek yang agak ketat soal handphone, tak pelak membuat hubungan mereka
menggantung.
Adna jelas
menyukai si cewek. Sebab ia sendiri mengakuinya. “Kalau dia bagaimana? Suka
kamu juga?” Saya penasaran dengan perasaan si cewek kepadanya.
“Ndak tahu, Tadz.
Sudah lama gak ketemu,” terdengar memelas jawabannya. Ada asa yang menggantung
di sana.
“Terus sekarang,
apa masalahnya?” Mendengar ceritanya, saya jadi bingung dengan masalah
utamanya.
“Nah, itu dia,
Tadz. Belakangan ini, saya tiba-tiba suka membayangin dia.” Kalimatnya terasa
berbeda. Ada optimisme yang sedang ia bangun kembali.
Jelas sekarang.
Ada kerinduan yang bergejolak dalam dadanya. Ada perasaan yang ingin segera
dituntaskan. Tapi sekat yang membatasi dunia mereka, menambah beban rindu itu
semakin berat. Khususnya bagi Ada,na.
“Bagaimana supaya
saya tidak terbayang dia lagi, Tadz? Sejujurnya sih, saya berharap ia nanti
jadi istri saya. Saya pengen nikah muda juga. Tapi, bayangan tentang dia
mengganggu konsentrasi saya, Tadz.”
Setelah diusut,
bayangan itu muncul ketika ia tidak memiliki kegiatan berarti. Maka saya
menyarankan untuk tidak membiarkan ada waktu yang terbuang tanpa hal yang
positif. “Waktu istirahat, gunakan untuk membaca, menulis, dsb. Menyendiri akan
membuat bayangannya menguat.”
Adapun membangun
harapan untuk membersamainya, itu urusan nanti. Saya sampaikan, kalau jodoh,
maka tidak ada yang mampu memisahkan. “Ingat dia dalam setiap doa.” Saya harus
menegaskan masalah doa ini. Agar bayangan yang terbangun positif.
Selain itu, saya
juga berpesan untuk memperbaiki diri. Konon, ia sudah bercadar. Maka tak
mungkin orang bercadar akan sembarang memasang kriteria calon suami. Belum lagi
ia sedang konsesn menghafal. “Lha, kamu berapa hafalannya sekarang?” Ia hanya
diam tertunduk.
“Pantaskan dirimu
dulu. Kalau sudah begitu, pasang harapan. Setelahnya, gedor pintu langit dengan
doa.” Adzan isya mempersingkat pertemuan kami. Nasihat pamungkas itu saya
jadikan sebagai penutup. Semoga ia segera sadar, dan tidak hanya sekedar
berharap tanpa memantaskan diri.
Selepas Isya, saya geleng-geleng kepala. Tidak biasanya ada yang ngomong soal cinta kepada saya. Apa saya pantas jadi penengah cinta?
Santri Bicara Cinta
Reviewed by Ibnu Basyier
on
Tuesday, May 09, 2017
Rating:
Wah wah wah. Jadi ingat semasa di asrama....
ReplyDeleteHahahaha iyya jd i gat waktu masih di asrama.
ReplyDeleteNasehat yang jleb....
ReplyDeleteCocok tadz cocok jadi pembimbing cinta anak muda agar tak salah arah hehe
ReplyDelete