Mahkota yang Sebenarnya

Remaja dan gaya penampilan seperti dua mata sisi uang logam. Tak bisa dipisah satu sama lain. "Maklum lagi puber." Begitu biasanya ungkapan yang terlontar dari orang-orang dewasa ketika melihat seorang remaja lagi bergaya.

Di pesantren, tugas guru dan pengasuh mengendalikan gaya penampilan mereka supaya tetap syar’i dan tidak berlebih-lebihan. Tentang gaya penampilan ini, biasanya ada penekanan khusus untuk potongan rambut. Tentu saja, standar potongan rambut yang diterapkan bisa bertolak belakang dengan keinginan remaja sendiri.

“Ustad, kenapa kita harus dipotong model cepak begitu, sih?" Seorang santri bertanya suatu kali. "Hampir seragam lagi bentuk dan ukurannya." Ada ketidakterimaan dalam pertanyaannya.

Pertanyaan semacam itu akan diajukan satu, dua, tiga santri, dan bahkan lebih banyak lagi setiap tiga bulan sekali. Yaitu ketika masa ujian hampir datang. Yang bertanya biasanya santri kelas 7, yang paling bungsu di antara santri lain.

Di pesantren, memang ada ketentuan tegas soal ujian. Salah satu syarat mengikuti ujian adalah rambut harus rapi dan standar pesantren. Sebelum hari H ujian tiba, ada pengecekan potongan rambut. Jika belum standar, maka harus distandarisasi dulu agar bisa mengikuti ujian.

Ketika bagian kesiswaan mengumumkan batas waktu pemotongan di masjid seba’da shalat, bisa dipastikan masjid akan heboh. Ada suara-suara samar yang tidak tidak terdengar jelas. Tapi jelas bahwa itu penolakan. Sambil memegangi rambut kesayangan, mereka akan berkata, “Hari pengorbanan telah tiba.”

Menjawab pertanyaan para santri tentang rambut memang dibutuhkan kesabara ekstra. Bagi para santri, sangat penting untuk menjaga penampilan rambut agar tetap trendi dan kekinian. Sebab itu adalah mahkota. Jika dipotong menurut standar pesantren, maka itu akan merusak mahkota tersebut. Begitu anggapan mereka.

Di antara para santri yang agak keras protesnya adalah kelas 9. Mengapa? Sebab mereka sudah hampir memasuki puncak pubertas. Gaya rambut menjadi sangat berarti bagi mereka.

Tetapi itu tidak menjadi alasan para ustad untuk menunda pemotongan rambut. Justru kelas 9 lah yang biasanya menjadi “korban” pertama. Alasannya karena merekalah yang paling besar dan paling pintar. Dan diharapkan bisa menjadi contoh bagi adik-adik kelas.

Menunggu giliran pemotongan, reaksi para santri beragam. Ada yang gelisah. Ada yang suntuk. Juga beberapa yang jengkel. Bahkan ada yang stress. Dan ketika alat potong perlahan mulai bergerak, mereka lalu diam seribu bahasa. Ada yang tetap tersenyum walau terpaksa.

Tidak hanya anak. Kadang ada juga orang tua yang memberi masukan bahkan komplain kepada para ustadz. “Anak saya stress duluan sebelum ujian karena harus potong rambut, Ustadz,” komentar salah satu ibu suatu ketika.

Apakah semua anak cenderung kurang bahagia ketika dipotong rambutnya? Tidak juga ternyata.

Suatu hari, “Pak, kami semua ingin dipotong bersih. Gundul,” kata salah seorang anak. Ia bersama 20-an anak lainnya menghadap kepada bagian TU yang biasa menjadi tukang cukur dadakan.

“Ah, beneran kalian ini?” Antara percaya dan tidak, seorang ustadz mencoba menyelidik. Mereka memangg dikenal bukan anak-anak yang sering melanggar. Tapi tetap saja mengherankan jika mereka meminta dicukur habis.

“Beneran, lah, Pak. Biar keren.” Si juru bicara menjawab kembali. Yang lain kompak mengnggukkan kepala. Sepertinya mereka memang sadar dengan pilihan tersebut.

Saya pertama kali melihat mereka di masjid selepas shalat ashar. Ketika itu, mereka sedang duduk-duduk bersama di sisi utara masjid. Kepala-kepala hampir plontos itu tampak kontras dengan santri lainnya. Mereka senyum-senyum penuh arti melihat saya keheranan.

“Ada apa, ini? Kok gundul semua? Nggak kena hukuman, kan?” Saya mencoba mengobati rasa penasaran.

“Nggak, lah, Tadz,” tanpa dikoor mereka menjawab hampir bersamaan. “Biar keren saja, Ustadz,” sambung salah seorang dari mereka ketika raut penasaran masih tergambar di wajah saya.

Saya tersenyum sambil berlalu mendengar jawaban mereka. Setahu saya, mereka memang anak-anak baik. Apalagi mereka adalah para santri yang memiliki ketertarikan dengan alQur’an. Tia pekannya, mereka mendapat tambahan 12 jam khusus untuk belajar alQur’an.

Bagi mereka, rambut bukanlah mahkota. Model rambut seperti itu tidak membuat mereka khawatir dikatakan tidak gaul. Memilih menjadi penghafal alQuran memang mengharuskan mereka untuk tidka banyak memikirkan yang tidak bermanfaat. Mereka rela mengorbankan mahkota mereka, untuk memberikan mahkota sesungguhnya kepada orang tua mereka di akhirat kelak


Saya selalu berharap mereka benar-benar menjadi penghafal alQuran. Sebagaimana mereka sangat ingin memakaikan mahkota cahaya kepada kedua orang tua bersebab hafalan mereka di dunia. 

Dari kisah seseorang yang dialihceritakan oleh saya.
Mahkota yang Sebenarnya Mahkota yang Sebenarnya Reviewed by Ibnu Basyier on Monday, May 01, 2017 Rating: 5

3 comments:

Terima kasih telah berkunjung. Semoga pulang membawa manfaat. Kalau ada yang tidak berkenan, tinggalkan di komentar....

ads
Powered by Blogger.