Nasib Sebuah Senyum


Kadang kala senyum dianggap hanya sebagai bumbu sebuah pertemuan. Bertemu seseorang, berikan senyum. Ditambahkan kata sapaan kalau sempat, kemudian berlalu. Padahal, senyum memiliki efek dahsyat yang jarang disadari. Termasuk saya sendiri, sampai pagi tadi ketika menjemput para santri.

Pagi hari seperti biasa, saya menjemput para santri di depan gerbang sekolah.  Semua santri saya beri sambutan standar. Senyum, salam dan sapa. Tidak ada yang biasa dari sambutan tersebut. Kecuali bagi satu santri.

“Ustadz, kenapa kalau ketemu saya kok selalu tersenyum?" Akumulasi dari rasa heran dan penasarannya akhirnya mengantar pada sebuah pertanyaan. Ia tampak ragu dengan tanyanya. Wajar, di sekolah, ia memang dikenal kurang beradab atau istilah umumnya nakal. “Padahal guru-guru dan anak-anak lain jarang yang senyumin saya.”

Panjang lebar saya menjelaskan. Intinya bahwa, senyum adalah hak semua orang. Semua orang punya senyuman manis, dan ia punya kewajiban untuk memberikan senyuman itu kepada siapa saja. Tidak pandang bulu. “Maka saya harus memberikan senyum kepada siapa saja. Termasuk senyum untuk kamu.” Saya memberi penekanan khusus kepadanya agar tidak merasa semua orang mengucilkannya.

Mendengar penjelasan saya, wajahnya menjadi senang sumringah. Guratan itu nampak jelas. Sepertinya pengakuan bahwa ia jarang disenyumin ada benarnya. Sebab penjelasan saya tadi benar-benar memberi efek bahagia baginya.

“Terima kasih, ustadz,” katanya seraya menyalami saya dan berlalu menuju kelas.

Hari-hari terus berjalan seperti biasa. Dan pagi-pagi berlalu diawali senyuman saya untuk setiap yang ke sekolah. Si santri juga demikian. Setiap bertemu, saya beri senyum. Dan ia balas memberi senyum tulusnya. Lalu mengucap salam seraya mengambil dan mencium tangan saya.

Suatu kali, setelah senyum salam sapa, ia mengutarakan suatu hal. “Ustadz, doakan saya lulus ujian nasional, ya?” Katanya penuh harap. “Doakan juga bisa keterima di kuliah sesuai keinginan saya,” lanjutnya.

Ia tak ragu menyampaikan permintaannya tersebut. Saya mulai berfikir, ia merasa nyaman dengan saya. Jika selama ini orang-orang justru menghindarinya, kini ia malah merasa enjoy dengan saya.

Usut dan usut, rupanya memang selama ini ia kurang mendapat perhatian dari orang-orang sekitarnya. Di asrama dan di sekolah, sama saja. Bisa jadi, cap “nakal” yang terlanjur melekat padanya menjadi faktor utamanya. Umumnya orang memang tidak suka anak nakal.

Tapi bagi saya, seorang pendidik harus bersikap netral dalam menghadapi anak didik. Bahkan ketika yang dihadapi tersebut adalah anak yang bermasalah. Sebab tidak jarang, dibalik cap terebut tersimpan potensi besar yang belum terekspos.

Karena potensi tersebut hanya terendap tidak tersalurkan, akhirnya si anak didik mencoba menarik perhatian. Karena salah melangkah, ia justru melakukan hal yang dianggap nakal oleh para guru dan anak-anak lainnya. Hingga akhirnya cap nakal itu mendarah daging dan ia dikenal dengan cap tersebut.

Sikap netral itulah yang rupanya membawa bekas bagi seorang anak. Minimal, dari sekian banyak orang yang ditemuinya di sekolah, saya tidak memberi muka masam kepadanya. Saya tetap beri senyum. Agar ia merasa tidak dibedakan dengan temannya yang lain.

Begitulah di antara efek tersenyum. Tetaplah tersenyum. Siapa tahu senyum kita mampu membangkitkan semangat dan ghiroh orang lain. Bagi kita biasa-biasa saja. Hanya formalitas belaka. Tapi bagi orang lain, itu mungkin sesuatu yang berbeda dan tidak biasa-biasa saja.

Dialihkisahkan dari cerita seseorang.
Nasib Sebuah Senyum Nasib Sebuah Senyum Reviewed by Ibnu Basyier on Friday, May 05, 2017 Rating: 5

9 comments:

Terima kasih telah berkunjung. Semoga pulang membawa manfaat. Kalau ada yang tidak berkenan, tinggalkan di komentar....

ads
Powered by Blogger.