Ketika Garis Pemaafan Sudah Sampai Batasnya

Matanya berkaca-kaca. Tampak butiran bening mulai mengaliri wajahnya. Ia terlihat berusaha tabah mencerna apa yang barusan didengarnya. Meski tak nampak kaget, tetap saja kesedihan tergurat di wajah wanita paruh baya tersebut.

"Dulu, kami mempertahankannya karena pertimbangan iman. Kini, karena pertimbangan itu pula, kami mengembalikan ananda kepada keluarga," kata-kata kepala sekolah pelan sekali diucapkannya. Ada rasa penyesalan dalam kalimatnya yang nyaris tak terdengar tersebut. Tapi cukup jelas tertangkap oleh gendang telinga si Ibu.

Selalu ada sisi manusiawi dari sebuah peraturan. Seketat dan serumit apapun seperangkat tata tertib tersebut dibuat. Kita biasa menyebutnya dengan ‘ruang pengecualian’.

Konsep ini dibuat dengan memahami kaidah sosial bahwa setiap kejadian mesti memiliki kaitan dengan peristiwa lainnya. Mencoba melihat sebuah kejadian tidak berdiri sendiri dan lebih komprehensif.

Tidak selalu setiap anak akan mendapat sanksi yang sama. Walau pelanggaran yang dilakukan mungkin sama. Terkadang, pemahaman dari banyak sisi atas kepribadian si anak memunculkan sanksi yang bisa saja berbeda. Hal itulah yang terjadi pada si santri, putra si Ibu tersebut.

"Kami sudah berusaha berbuat semampunya untuk membina ananda supaya lebih baik lagi. Wali kelas, Guru BK dan seorang guru spesial terlibat dalam pembinaan khusus ananda."

"Mungkin kapasitas kami masih kurang mumpuni untuk menjadi pembimbing dan penghantar hidayah bagi ananda," tambah bagian kesiswaan yang ikut mendampingi kepala sekolah.

Anak ibu itu memang spesial. Dua tahun kami coba membinanya, ternyata belum berhasil. Awalnya, dengan motivasi ingin menyelamatkan imannya, anak itu diterima masuk pesantren. Harapan besarnya ketika itu, benih-benih iman yang masih ada di dalam hatinya akan tumbuh subur dalam bimbingan dan pembiasaan ibadah selama 3 tahun di pesantren.

Pada awalnya, semua berjalan baik. Perilaku dan keaktifannya masih dianggap wajar. Tidak ada aturan-aturan serius yang dilanggarnya. Hal baik lainnya, indoktrinasi kristen yang ia terima sejak kelas 2 SD nampak perlahan mulai luntur.

Si Ibu yang single fighter gembira ketika mengetahui progress perkembangan tersebut. Guru dan pembimbing di pesantren juga berbahagia. Harapan besar itu mulai membuahkan hasil.

Tapi rupanya, Allah punya kehendak lain untuk si anak. Sepulang dari liburan panjang lebaran idul fitri di tahun pertamanya di pesantren, ia mulai menampakkan gejala berbeda. Ternyata, daya tarik komunitas asalnya masih sangat kuat. Celupan di pesantren beberapa bulan kalah kuat magnetnya. Dalam hitungan hari, celupan itu luntur dan memudar.

Sejak itu pengendalian si anak mulai sulit. Terlebih, keluarganya yang non muslim berupaya menarik kembali si anak dalam pengaruhnya dengan berbagai cara.

Satu setengah tahun berikutnya, si anak butuh perhatian ekstra dari para guru dan pembimbing. Ditunjuklah seorang guru agama khusus untuk mendampingi dan memantau keseharianya. Semua karena tanggung jawab iman.

Setiap bulan si ibu berkomunikasi dengan pihak pesantren terkait perkembangan anaknya. Dia selalu berterima kasih atas perhatian serta bimbingan para guru. "Saya terkadang malu dengan para ustadz yang begitu sabar membimbing anak saya," begitu ucapnya pada satu kesempatan.

Namun, qodarullah, semua upaya nampaknya belum sesuai harapan. Belakangan, di puncak akumulasi masalahnya, ia meminta sesuatu ayng mustahil. "Saya pingin tinggal sama mama," rengek si anak suatu hari. Ketika itu, pengaruh keluarga besarnya mulai mengakar kembali.

Si ibu sendiri yang harus mencari nafkah seorang diri khawatir tidak mampu menjaga si anak. Ia belum siap melawan pengaruh kuat dari keluarga besarnya yang non muslim tersebut. Belum lagi adiknya yang masih TK juga lebih butuh perhatian.

Waktu terus berjalan. Segala upaya belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Di sisi lain, efek negatif si anak mulai menjalar lebih luas ke lingkungan sekitarnya.  

Para pembimbing khusus yang semula meminta toleransi jika si anak melanggar peraturan, berfikir ulang. Upaya untuk memberi kemakluman yang selama ini diberikan sepertinya tidak efektif. Teman-teman sekelasnya mulai mencium adanya perbedaan perlakuan yang diberikan kepadanya.

Menurut para pembimbing tersebut, garis pemaafan sudah batasnya. Tidak mungkin pelanggaran-pelanggarannya harus ditolerir terus-menerus. Akan ada gelombang protes dari santri lainnya.

"Insya Allah dia akan menemukan guru-guru yang lebih baik dari kami di sini," terang Kepala Sekolah, "semoga dengan tinggal bersama, dan melihat bagaimana mamanya mencari nafkah, hidayah lebih cepat dia peroleh." Si Ibu menganggukkan kepala sambil lirih berucap: "aamiin".
Ketika Garis Pemaafan Sudah Sampai Batasnya Ketika Garis Pemaafan Sudah Sampai Batasnya Reviewed by Ibnu Basyier on Sunday, April 30, 2017 Rating: 5

2 comments:

Terima kasih telah berkunjung. Semoga pulang membawa manfaat. Kalau ada yang tidak berkenan, tinggalkan di komentar....

ads
Powered by Blogger.