Beda Sudut Pandang
Saya baru berniat untuk melepas penat. Ini Ahad yang cerah untuk keluar rumah. Menyegarkan pikiran dari tumpukan berbagai permasalahan anak-anak di asrama. Tiba-tiba, handphone teriak keras. Sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Saya biarkan sejenak sambil mengingat nomornya. Mungkin saja nomor dikenal tapi belum di save.
Sebelum panggilan berakhir, segera saya angkat. Dengan suara seolah kenal, "Assalamualaykum," saya buka dengan salam.
"Waalaykum salam. Ustadz, saya ibunya Hasan. Bisa bicara dengan Hasan?" Tanpa basa-basi, si Ibu minta bicara dengan anaknya. Saya baru ingat, beberapa hari lalu ibu tersebut juga menelpon sebentar. Tapi durasinya sebentar sekali.
Mendengar permintaan itu, saya menarik nafas pelan. Mau mengiyakan, "gimana gitu" rasanya. Mau bilang, "Maaf, bu. Saya libur hari ini," juga gak enak. Dilematis jadinya.
Hari Ahad seperti ini, seharusnya saya libur. Sebagaimana memang hari ini adalah hari libur pada umumnya. Waktu yang tepat untuk family time setelah enam hari bergumul dengan urusan-urusan luar rumah yang menyita segalanya. Menyita waktu, tenaga, pikiran dan perhatian.
Murobbi sama dengan yang lainnya. Butuh waktu libur untuk melepas penat. Butuh waktu rehat untuk melepas lelah. Butuh waktu santai untuk berkumpul bersama keluarga -bagi yang sudah berkeluarga-. Seharusnya, hari Ahad seperti ini dipahami bersama bahwa murobbi sedang libur.
Tapi itu hanya harapan. Buktinya, baru berniat keluar komplek asrama, handphone saya sudah berdering. Dan panggilan tugas menanti.
"Baik, bu. Saya segera ke asrama panggilkan Hasan. Bisa ditutup dulu sekitar 5 menit." Saya harus mengalah. Mengatakan bahwa saya sedang libur boleh saja. Dan tentu akan dapat dimaklumi oleh orang tua. Tapi, rasanya berat untuk mengungkapkan hal itu. Mengalah mungkin satu-satunya pilihan saat ini.
"Terima kasih, Ustadz. Nanti saya bel lagi."
Sambil ke asrama, saya merenung. Jika saya gunakan sudut pandang dari orang tua, maka Ahad memang waktu yang bebas dan panjang untuk ngobrol dengan anak di asrama. Sebab anak libur, dan orang tua juga libur. Di hari lain, walau ada kesempatan ngobrol by phone dua kali sepekan, itu tetap tidak maksimal. Sebab waktu terbatas, dan ada belasan antrian yang akan menggunakan handphone asrama.
Dering handphone membuyarkan renungan saya. "Assalamualaykum. Sudah ada, Tadz?" Si ibu mendesak. Mungkin tidak sabaran. Atau bisa jadi rindu sudah hampir tak tertahan.
"Sebentar, bu. Hasan baru selesai mandi. Nanti saya kabari kalau sudah datang." Ah, kalau yang dipikirkan hanya kepentingan sendiri saja, memang begitu. Kita kadang gak sabaran. Saya juga sering demikian. Maka jawaban saya dibuat sedemikian tenang agar tidak terdengar berbeda.
Sejurus kemudian, Hasan sudah datang. Segera saya misscall ibunya. Tak lama kemudian, sebuah panggilan masuk. Nomor yang sama. Kepada Hasan langsung saya berikan. "Selesai, langsung kembalikan, ya?" Saya harus memberi pesan tersebut karena ini bukan jadwal resmi menelpon dan ditelpon. Agar handphone itu langsung kembali ke tempat seharusnya.
Alhamdulillah. Walau telat refreshing, setidaknya saya sudah menjadi perantara tetap terjalinnya silaturahmi ibu dan anak. Semoga itu tercatat sebagai kebaikan. Dan menjadi pemberat timbangan kebaikan di hari perhitungan amal.
Sejam kemudian, saya sudah di atas kendaraan. Membelah jalan padat kota Batu bersama orang-orang terkasih; istri dan anak-anak. Anak senang. Istri bahagia. Saya turut gembira. Hasan juga riang telah melepas rindu. Pun demikian ibunya. Walau liburan sedikit tertunda, yang penting semua ceria.
Semua ini hanya karena beda sudut pandang saja soal liburan. Dan bisa teratasi baik dan bersifat kekeluargaan. Yang penting semua ceria dan bahagia.
Sebelum panggilan berakhir, segera saya angkat. Dengan suara seolah kenal, "Assalamualaykum," saya buka dengan salam.
"Waalaykum salam. Ustadz, saya ibunya Hasan. Bisa bicara dengan Hasan?" Tanpa basa-basi, si Ibu minta bicara dengan anaknya. Saya baru ingat, beberapa hari lalu ibu tersebut juga menelpon sebentar. Tapi durasinya sebentar sekali.
Mendengar permintaan itu, saya menarik nafas pelan. Mau mengiyakan, "gimana gitu" rasanya. Mau bilang, "Maaf, bu. Saya libur hari ini," juga gak enak. Dilematis jadinya.
Hari Ahad seperti ini, seharusnya saya libur. Sebagaimana memang hari ini adalah hari libur pada umumnya. Waktu yang tepat untuk family time setelah enam hari bergumul dengan urusan-urusan luar rumah yang menyita segalanya. Menyita waktu, tenaga, pikiran dan perhatian.
Murobbi sama dengan yang lainnya. Butuh waktu libur untuk melepas penat. Butuh waktu rehat untuk melepas lelah. Butuh waktu santai untuk berkumpul bersama keluarga -bagi yang sudah berkeluarga-. Seharusnya, hari Ahad seperti ini dipahami bersama bahwa murobbi sedang libur.
Tapi itu hanya harapan. Buktinya, baru berniat keluar komplek asrama, handphone saya sudah berdering. Dan panggilan tugas menanti.
"Baik, bu. Saya segera ke asrama panggilkan Hasan. Bisa ditutup dulu sekitar 5 menit." Saya harus mengalah. Mengatakan bahwa saya sedang libur boleh saja. Dan tentu akan dapat dimaklumi oleh orang tua. Tapi, rasanya berat untuk mengungkapkan hal itu. Mengalah mungkin satu-satunya pilihan saat ini.
"Terima kasih, Ustadz. Nanti saya bel lagi."
Sambil ke asrama, saya merenung. Jika saya gunakan sudut pandang dari orang tua, maka Ahad memang waktu yang bebas dan panjang untuk ngobrol dengan anak di asrama. Sebab anak libur, dan orang tua juga libur. Di hari lain, walau ada kesempatan ngobrol by phone dua kali sepekan, itu tetap tidak maksimal. Sebab waktu terbatas, dan ada belasan antrian yang akan menggunakan handphone asrama.
Dering handphone membuyarkan renungan saya. "Assalamualaykum. Sudah ada, Tadz?" Si ibu mendesak. Mungkin tidak sabaran. Atau bisa jadi rindu sudah hampir tak tertahan.
"Sebentar, bu. Hasan baru selesai mandi. Nanti saya kabari kalau sudah datang." Ah, kalau yang dipikirkan hanya kepentingan sendiri saja, memang begitu. Kita kadang gak sabaran. Saya juga sering demikian. Maka jawaban saya dibuat sedemikian tenang agar tidak terdengar berbeda.
Sejurus kemudian, Hasan sudah datang. Segera saya misscall ibunya. Tak lama kemudian, sebuah panggilan masuk. Nomor yang sama. Kepada Hasan langsung saya berikan. "Selesai, langsung kembalikan, ya?" Saya harus memberi pesan tersebut karena ini bukan jadwal resmi menelpon dan ditelpon. Agar handphone itu langsung kembali ke tempat seharusnya.
Alhamdulillah. Walau telat refreshing, setidaknya saya sudah menjadi perantara tetap terjalinnya silaturahmi ibu dan anak. Semoga itu tercatat sebagai kebaikan. Dan menjadi pemberat timbangan kebaikan di hari perhitungan amal.
Sejam kemudian, saya sudah di atas kendaraan. Membelah jalan padat kota Batu bersama orang-orang terkasih; istri dan anak-anak. Anak senang. Istri bahagia. Saya turut gembira. Hasan juga riang telah melepas rindu. Pun demikian ibunya. Walau liburan sedikit tertunda, yang penting semua ceria.
Semua ini hanya karena beda sudut pandang saja soal liburan. Dan bisa teratasi baik dan bersifat kekeluargaan. Yang penting semua ceria dan bahagia.
Beda Sudut Pandang
Reviewed by Ibnu Basyier
on
Monday, April 24, 2017
Rating:
Hanya beda sudut pandang ...
ReplyDeleteMakasih Kak reminder buat aku tulisan ini. 😊
Iya kak.... setiap peristiwa punya sudut pandang masing-masing
ReplyDeleteLama tidak ngaji di blog-nya panjenengan, Gus Ibnu.
ReplyDeleteSelalu menyejukkan membaca tulisan guru ngaji blogger ini.
Reportase perjalanan ke Batu yang menyenangkan.
Baca tulisan mas Ibnu tuh bikin adem. Sekaligus pengingat buat diriku yang kerap berbuat lalai juga tidak sabaran ��
ReplyDelete