Rahasia Wajah Cerah

Suatu ketika di hari kunjungan. Sebagaimana yang sudah mafhum, hari kunjungan merupakan hari di mana para wali santri boleh mengunjungi para santri untuk melepas kangen dan rindu.

Saat itu adalah hari kunjungan buat SMA. Sepulang zhuhur berjamaah dari masjid, salah seorang wali santri mendekati saya. Awalnya, dia bercerita tentang baru akik yang sedang tenar dan ramai diperbincangkan orang di kampungnya. Ketika itu batu akik belum seramai sekarang. Dia tanya hukumnya apa hukum menggunakannya.

Waktu itu, saya jawab, “Pada dasarnya, hukum asalnya adalah mubah dan sesuatu yang boleh. Hanya saja, kadang ada yang mengaitkan dengan hal-hal yang berbau mistis. Maka ketika itu terjadi, hukum menggunakan cincin itu bisa berubah.”

Sambil menyimak, dia mengangguk-angguk pelan. Entah dia paham atau tidak, Allahu a’lam.

Obrolan kami terus mengalir. Hingga ia mengajukan sebuah pertanyaan yang membuat saya agak berfikir keras.

“Ustadz, apa rahasianya kok wajah ustadz selalu keliatan cerah. Bisa bagi-bagi zikir atau amalannya, kah?” tanyanya dengan logat khas orang timur.

Pertama kali yang terbetik oleh saya ketika mendapati pertanyaan itu adalah ‘wah, orang ini kayaknya merasa saya punya zikir-zikir tertentu’. Tapi, saya tidak langsung menjawab. Sebab pertanyaanya belum selesai.

“Kan biasanya, ada ustadz-ustadz yang punya zikir dan amalan tertentu untuk bisa memiliki seseutu yang orang lain tidak punya. Mungkin pak ustadz bisa bagi dengan saya, toh ...” tambahnya penuh harap.

Ini yang saya khawatirkan. Pernah, dahulu sekali, saya dengar kisah-kisah seorang kiai yang mampu melakukan hal-hal diluar kemampuan manusia lainnya. Tapi, terus terang, itu hanya saya dengar saja. Tidak pernah hal-hal seperti itu terjadi di depan mata saya. Seolah, oleh wali santri tersebut, saya memiliki amalan khusus agar wajah hitam manis saya (ceileee) selalu terlihat cerah. Padahal, demi Allah, kalau dia pengen tahu, saya tidak punya amalan khusus.

Saya lalu teringat wejangan salah seorang ustadz saya kala masih kuliah dulu. Kata ustadz saya itu, dalam pandangan orang lain (yang bukan santri), seorang santri sangat mudah ditebak dari penampilannya. Wajahnya, lanjut beliau, terlihat cerah bercahaya. Pakaiannya selalu sama; celana kain dengan baju koko atau kemeja. Tak ketinggalan tas ransel nyantol di pundaknya.

Kalau ini, saya memang sering mengalaminya sendiri. Setidaknya dulu ketika masih nyantri. Kalau kebetulan saya ke kota untuk sebuah keperluan dengan angkot, maka otomatis melalui terminal kota. Di terminal ini, yang namanya santri, insya Allah sangat mudah dikenali. Maka bukan pemandangan ganjil ketika seorang sopir angkot memanggil, “Dek, pesantren. Ayo, langsung jalan!”

Maksud si sopir itu: Dek, ayo, mobil ini ke pesantren.

Letak pesantren kami memang bukan di jalur angkot. Sebab terminal akhir angkot masih sekitar 1 KM dari pesantren. Jadi, sopir yang paham dengan penampilan santri tidak perlu bertanya, “Ke pesantren, kah?” Sebab sudah terlihat dari penampilannya kalau dia adalah santri, yang notabene adalah murid pesantren.

Lalu apa yang saya katakan kepada wali santri itu untuk menjawab rasa penasarannya?

Saya dengan terpaksa menjelaskan, “Sejujurnya, saya tidak punya amalan tertentu pak. Juga tidak punya zikir khusus untuk mencerahkan wajah.”

Untuk mengobati rasa kecewanya, saya hanya nasehatkan dengan hati-hati, “Coba panjenengan sering-sering berwudhu.”

Sebelum berpisah, sejatinya dia sempat menawarkan membawakan saya batu akik dari kampungnya. Tapi sayang, orang tersebut keburu menyelesaikan kuliah pascanya. Dan belum sempat ketemu lagi hingga hari itu. Kalau mungkin ketemu, dan dia masih ingat, mungkin dijari saya sudah ada batu akik dari Maluku.