Dokter dan Sebuah Janji


Janji adalah utang. Begitu yang sering saya dengar dulu kala kecil. Dan itu memang benar. Islam mengajarkan umatnya untuk menepati janji. Hanya saja, ada saatnya janji hanyalah janji.
.
Hari itu, saya mengantar adik ke rumah sakit. Tangannya yang agak bermasalah setelah jatuh dari motor akan diperiksa. Walau kejadiannya sudah berhitung bulan, tetap saja penting untuk mengantarnya ke dokter Orthopedi.
.
Bapak yang menelpon siang tadi sudah janjian bertemu dokter pada 19.00 waktu setempat. Setelah memperkirakan jarak tempuh dan kemungkinan mengularnya antrian, saya putuskan berangkat selepas maghrib. Langsung.
.
Saya tiba di rumah sakit sekitar 18.30. Antrian tidak begitu banyak. Urusan administrasi pendafatran diselesaikan tanpa banyak menyita waktu. Saya hanya mengantri dibelakang satu orang saja. Tidak seperti prediksi saya sebelumnya.
.
Dari bagian resepsionist, saya segera meluncur ke ruang praktek dokter bedah. Berharap dokter sudah ada di ruangannya. Dan adik saya segera diperiksa tangannya. Tapi, sayang.  Dokter belum tiba di tempat. Wajarlah. Sebab jadwalnya memang jam 19.00. Masih 20-an menit lagi.
.
Tidak lama menunggu, adzan Isya berkumandang. Saya izin ke petugas jaga untuk shalat Isya dulu. Khawatir ada yang menyela antrian periksa saya. Karena paling cepat daftar, saya kebagian nomor urut satu untuk bertemu dokter.
.
Kembali dari masjid, rupanya dokter belum juga tiba. Jam sudah menunjukkan 19.30. Setengah jam lewat dari janji awal. Oleh asisten dokter, saya mendapat informasi. Sebuah operasi yang ditangani sang dokter ternyata memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakan. Karenanya, dokter agak telat datang.
.
Saya akhirnya memilih untuk lebih bersabar. Itu lebih baik daripada menggerutu tidak jelas yang tidak membuat dokter selesai lebih cepat.
.
Sekira 20.30, yang ditunggu muncul. Sekilas terlihat ada garis lelah di wajahnya. Wajar saja. Operasi yang barusan dilakukannya menyita banyak energi.
.
"Maaf, ya, mas," katanya penuh penyesalan.
.
Dalam dunia medis, siapa yang lebih gawat keadaannya, dialah yang mendapat perhatian lebih awal. Siapapun pasiennya, apapun statusnya, bagaimanapun bentuk pembayarannya, semua dianggap sama. Ukurannya adalah siapa yang lebih darurat dan harus segera ditangani. Termasuk tindakan yang harus disegerakan penanganannya  adalah operasi. Begitu penjelasan ringan yang saya dapatkan kemudian.
.
Dalam Islam, janji haruslah ditepati. Bagi muslim, melanggar janji yang telah dibuat adalah sanksi. Bahkan di sebuah kesempatan, pelanggar janji disebut bermuka dua oleh Nabi.
.
Tetapi, tetap saja setiap kaidah ada pengecualiannya. Ada pertimbangan-pertimbangan khusus yang membolehkan kita kadang boleh keluar dari ketentuan.
.
Begitu pula dengan janji. Janji memamg harus ditepati. Tetapi jika ada sesuatu yang lebih penting dari memenuhi janji tersebut, maka boleh ditunda. Boleh ditunda, bukan berarti boleh dilanggar. Hanya saja, pihak yang menunda perjanjian harus memberitahu akan penundaan tersebut.
.
Dan inilah yang dilakukan oleh dokter orthopedi tersebut. Melalui asistennya, ia memberitahu bakal tertundanya perjanjian. Sebab ada yang lebih penting dari itu. Ini merupakan adab yang tinggi dari seorang dokter orthopedi.
.
Selesai berurusan dengan dokter, tiba saatnya menuju kasir. Oleh bapak, pembayaran dilakukan dengan trasnfer. Rupanya, dana yang disiapkan tidak cukup. Terpaksa bapak harus ke atm malam-malam untuk melunasi biaya pemeriksaan dan obat-obatan.
.
Ketika meninggalkan rumah sakit, sudut kanan atas Sony C3 saya menunjukkan angka 21.18. Itu berarti, untuk mengecek satu tulang di tangan kanan saja, membutuhkan waktu kurang lebih 4 jam.
.
#30DWCJilid5
#Day6

Dokter dan Sebuah Janji Dokter dan Sebuah Janji Reviewed by Ibnu Basyier on Sunday, April 16, 2017 Rating: 5

8 comments:

Terima kasih telah berkunjung. Semoga pulang membawa manfaat. Kalau ada yang tidak berkenan, tinggalkan di komentar....

ads
Powered by Blogger.