Percayai Dia Seperlunya
Bagaimana rasanya punya anak didik yang cerdas lagi baik akhlaknya? Tentu ada kebahagiaan tersendiri yang dirasakan. Bahkan, sebagai pendidik, kita akan berani mempercayai dia lebih dari yang lainnya. Saya pun begitu, awalnya.
.
Saya pernah menitipkan kepercayaan lebih kepada seorang santri. Sebut saja namanya Hasan. Dia memang sangat berbeda dari yang lainnya. Bahkan mungkin, semua kebaikan santri berkumpul pada dirinya.
.
Di kelasnya, Hasan adalah juara. Setidaknya, dia selalu berada di 2 besar. Karena kecerdasannya, para guru senang kepadanya. Anak-anak lainnya juga senang karena sifat Hasan yang mudah memberi pemahaman pelajaran kepada mereka.
.
Hasan juga memiliki akhlak yang baik. Ketemu guru, selalu amalkan senyum salam sapa. Kepada teman, dia perhatian.
.
Untuk ibadah, dia juga nomor satu. Belum waktunya wajib bangun, dia bangun lebih dahulu. Lalau tegak berdiri tahajjud lebih awal. Sunnah rawatib dilakukan dengan berkesadaran. Tanpa paksaan apalagi harus disuruh.
.
Hafalan, walau bukan yang terbanyak, dia mampu menghafal lebih banyak dari target yang ditentukan. Setorannya tiap habis subuh.
.
Dibandingkan yang lain, saya lebih senang bersamanya. Bukan berarti yang lain saya abaikan. Hanya saja, inilah kodrat manusia: selalu suka yang baik dan kebaikan.
.
Karena itu semua, saya memberi dia kepercayaan lebih. Artinya, saya menganggap dia tidak lagi akan melakukan pelanggaran dan neko-neko. Urusan akhlak, saya anggap dia selesai. Saya tidak perlu lagi banyak menasehatinya terkait akhlak. Begitu pula urusan ibadah. Toh, sepertinya, ibadahnya jauh lebih baik dan lebih khusyu ketimbang saya.
.
Dan begitulah. Kepercayaan itu alami berjalan. Tanpa campur tangan saya secara langsung, dia sudah begitu baik dan berakhlak mulia.
.
Hingga suatu hari.
.
"Punya siapa ini, San?" Hasan hanya tertunduk layu. Tak berani dongakkan kepala sedikitpun.
.
"Hasan! Punya siapa?" Intonasi suara saya yang menaik membuatnya sedikit ciut.
.
"Maaf, tadz. Itu gak sengaja kebawa waktu kunjungan kemarin."
.
"Itu jujur?" Tak ada jawaban. Ia hanya diam.
.
"Hasan?" Ia semakin merunduk. Saya rasakan, ada penyesalan yang sangat dalam. Ia yang saya percayai tidak akan melanggar, rupanya berakhir tak baik. Terkena operasi tangkap tangan.
.
"Sejujurnya, memang niat bawa tadz. Mama suruh bawa. Dan saya pake jualan pulsa saja. Cuman itu." Tampaknya ia mengumpulkan segenap keberanian untuk berbicara panjang lebar.
.
Saya menghela napas panjang. Tiba-tiba, kelabatan piringan kepercayaan yang selama ini saya berikan terputar ulang. Lalu jatuh, hancur berantakan.
.
Begitulah. Saya akhirnya belajar satu hal. Percayai orang seperlunya. Agar ketika amanah khilaf dikhianati, hati tidak begitu kehilangan. Dan ini persis seperti cinta.
Aihh...rasa-rasa seperti itu juga kukenal baik, Kak.
ReplyDeleteDikecewakan santri sendiri. Terlalu berharap tapi lupa mereka memang masih remaja.
Lets bernano-nano ria dengan pembinaan karakter mereka :)
Ini persis seperti cinta.
Sukaak diksi inii
Sebuah pelajaran berharga bagi saya
ReplyDeletePercayai dia seperlunya
Wah iya yaa... saya juga pernah terlalu percaya pada teman berujung pada hal yang tidak mengenakkan.
ReplyDeleteJadi itu kuncinya.
Hargai kejujurannya pak..
ReplyDeleteMengambil sisi positifnya ... 😊👍
ReplyDeletePembelajaran yang berharga, cinta dan percaya seperlunya saja:)
ReplyDelete