Santri Tipe Meriang
Beberapa
tahun silam, saya ingat punya seorang santri tipe “meriang” yang ekstrovert.
Sebut saja namanya Thufail. Sejak lulus sekolah tingkat dasar di kotanya di
seberang pulau, oleh orang-tua ia dikirim ke sekolah boarding. Jauh dari
orang-tua, Thufail dapat menyelesaikan pendidikannya selama 6 tahun dari
sekolah tingkat menengah pertama dan atas sebagai santri. Tentu dengan segala
cerita dan kisah sebagai bumbunya.
Santri
bertipe “meriang” seperti Thufail adalah santri yang “merindukan kasih sayang”
dari orang sekitarnya. Kebalikan dari tipe meriang adalah “meradang”. Yaitu
tipe santri yang masih “merasakan kasih sayang”.
Pada umumnya,
santri tipe meriang suka mencari perhatian di depan kawan-kawan sekelasnya.
Juga tentu saja kepada gurugurunya. Tipe ini terbagi lagi menjadi dua. Ada yang
ekstrovert alias terbuka. Dan ada juga santri meriang yang intorovert atau
tertutup.
Tipe meriang
ekstrovert lebih cenderung suka membuat gaduh seisi kelas dan membuat ulah.
Mereka melakukannya untuk mencari perhatian. Tujuannya adalah agar bisa menjadi
pusat perhatian. Hingga akhirnya benar-benar menjadi buah bibir di kalangan
guru-pengasuh, sehingga orangtua dipanggil kepala sekolah dan kepala asrama.
Dengan datangnya orang-tua, santri tipe ini berharap mendapat sedikit perhatian
dari keduanya.
Pada tahun
pertama Thufail di tingkat SMA, saya didapuk menjadi wali kelasnya. Jauh dari
orang tua sejak 3 tahun lalu, membuatnya suka berulah dan mencari perhatian.
Benar-benar tipe meriang yang introvert.
Di kelas,
jika tidak tidur, ia akan menjadi pemandu sorak layaknya suporter bola. Dengan
suara keras dan khas miliknya, ia bisa meniru suara simpanse. Kontan, itu
membuat seiri kelas menjadi ramai seperti pasar malam.
Melihat
polahnya yang demikian, sebagian guru menjadi sangat berbahagia jika mendapati
Thufail selama pelajaran berlangsung. Itu artinya, kegaduhan di kelas bisa
diminimalisir berkat tidurnya si biang kerok kegaduhan. Beberapa guru senior
yang lebih berani, biasa mengambil langkah memberi hukuman berdiri kepada Thufail
selama pelajaran jika dirasa menganggu. Bahkan ada yang menyuruhnya
meninggalkan kelas sementara waktu agar kelas tidak gaduh.
Agar bisa
menyelami akar masalahnya, saya mencoba mendekatinya. Memberi sedikit kesan
bahwa ia berhasil mendapatkan perhatian saya sebagai wali kelas. Kelebihan saya
yang bukan termasuk guru killer yang membuat santri takut, membuat Thufail
mudah membagi masalah.
Darinya, saya
mendapati bahwa Thufail merasa dipaksa masuk sekolah asrama. Menjadikan dirinya
sebagai santri adalah keinginan orang-tua, bukan murni kemauannya.
Parahnya
lagi, ternyata pula Thufail jarang bertemu dengan ayahnya. Dia menceritakan
bahwa bekerja di pelayaran pulangnya bisa setahun sekali atau terkadang lebih
dari setahun karena tuntutan pekerjaan yang waktu banyak di lautan daripada di
daratan.
Oleh karena
itu, wajar jika Thufail kehilangan sosok ayah dalam dirinya (fatherless) dan
berusaha mencari figur ayah di setiap guru dan pengasuhnya yang memang semuanya
kebetulan laki-laki. Hal yang lebih miris lagi, ternyata ibunya ternyata juga
seorang wanita karier yang terkesan lebih sibuk mengurusi urusan bisnis
propertinya daripada mengurusi anaknya yang sedang berjuang menuntut ilmu.
Seiring
perjalanan waktu, Thufail pun hampir menyelesaikan studinya di SMA. Selama enam
tahun belajar, nyaris belum ada perubahan terhadap karakteristiknya yang
hiperaktif dengan gaya belajarnya yang psikomotorik. Namun ada perubahan
positif dalam pembentukan karakteristiknya yakni menjadi anak yang lebih
sholeh, dewasa, dan mandiri serta bisa menerima keadaan.
Alhamdulillah
dengan kuasa Allah Ta'ala, ibunya pun tergerak untuk mendekatkan diri untuk
tinggal dan beraktivitas dengan anaknya di sekitar pondok. Dia pun
mendelegasikan urusan bisnis properti di seberang pulau sana kepada orang
kepercayaannya.
Kepindahan Ibunya ke Malang
ternyata membawa berkah tersendiri. Satu sisi, dia senantiasa memantau
perkembangan putranya yang sewaktu-waktu dibutuhkan bisa dihadirkan. Di sisi
lain, insting bisnisnya tetap jalan dengan mengembangkan bisnis propertinya di
wilayah Malang Raya. Bahkan, dua tahun tinggal di Malang, dia berhasil membuat
perumahan di dekat pondok. Bukan itu saja, sebagai tanda syukur, di penghujung
kelulusan Thufail, dia menghadiahi umroh dan sepeda motor
kepada salah satu murabbi anak kesayangannya.
Santri Tipe Meriang
Reviewed by Ibnu Basyier
on
Thursday, July 27, 2017
Rating:
Saya akhirnya tahu sebutan yang lebih elok buat santri2ku yang suka nganu😂😂
ReplyDeleteMeriang, meradang...aih smuanya ada😅
Terharu banget bacanya,
ReplyDeleteSpechless