Karena Hijrah itu Indah


Sejak berstatus sebagai santri tingkat menengah atas, saya sudah terobsesi dengan istri bercadar. Dulu ketika di tingkat menengah pertama, melihat santri-santri putri bercadar saja, ada perasaan berdebar. Sungguh sebuah perasaan aneh yang susah terjabar.

Hingga ketika beranjak ke menengah atas, ketika masa pubertas, timbullah keinginan itu. Untuk memuluskan ambisi itu, saya berusaha mencari koneksi. Yang bisa membantu mengenalkan dengan seorang putri bercadar.

Beberapa waktu kemudian, saya pun mengenal seseorang. Ia adalah putri bercadar. Secara tak sengaja, di rumah seorang ustadz, saya melihat wajahnya. Cantik sekilas. Membekas dan mengawang dalam khayal.

Setelah pertemuan itu, saya berusaha mencari tahu; siapa namanya, kelasnya, kampungnya, dan identitas lain tentangnya. Hingga saya menemukan akun facebooknya dengan cara tak terduga.

Dan perkenalan pun bersambut. Kami sering chating ria di massenger. Walau hanya sepekan sekali di pagi Ahad, tak mengapa bagi saya. Setidaknya, tangga pertama menuju obsesi itu sudah terjejaki.

Selulus sekolah menengah atas, saya memilih kuliah di luar kota. Ia sendiri mengabdi di almamternya. Fokus mendaras agama, katanya. Jarak yang memisah, tak menjadi alasan untuk tidak saling mengikat janji.

Kepadanya yang saya cintai sepenuh jiwa, janji menikahinya terucap tulus. Dengan senang hati, ia juga mengikat komitmen. Dan itu akan terwujud setelah belajar si bangku kuliah tuntas.

Hingga semuanya berubah total. Tragisnya, mimpi itu hancur jelang kelulusan dari bangku wisuda. Janji menikahi, komitmen hidup bersama, seolah hanya cinta monyet anak sekolah menengah atas. Cinta masa pubertas.

Semua bermula dari sebuah pencerahan berharga dari seorang dosen saya. "Apalah arti danau luas dan pagar tinggi berduri jika ternyata tak bisa menjadi pembatas lagi. Tak ada guna himar panjang menjulur, jilbab besar dan cadar, jika hati tak bisa terhijabi." Begitu di antara nasehatnya.

Saya yang mulai dewasa kembali berfikir matang. Benar. Tidak mungkin orang yang bercadar mudah mengobral cinta. Pasti ada yang salah. Entah cadarnya yang hanya sebagai hiasan, atau nafsunya yang mendominasi.  Atau faktor-faktor lainnya.

Demikianlah. Hingga kami berjanji memperbaiki diri. Sama-sama saling menjaga diri. Mengikhlaskan segala janji. Biarlah takdir mempertemukan jika memang itu kehendak Ilahi. Tanpa perlu harus mengotori hati. Dengan cinta yang dilandasi nafau hewani.

***

"Yah, sudah mulai sering sakit, nih," seorang wanita paruh baya membuyarkan lamunan. Ia adalah wanita yang belum saya temui, tapi mencintai saya sepenuh hati. Perutnya yang besar dielus-elusnya. Ada calon bayi kami di sana.

"Ayo lah ke bidan." Ia segera berkemas. Sesaat kemudian, ia sudah rapi dengan setelan gamis panjangnya. Gamis motif polkadot itu dipadupadankan dengan jilbab biru gelap. Plus cadar dengan warna serupa. Ah, anggun sekali melihatnya.

Beberapa jam di bidan, buah hati kami lahir ke dunia. Lelaki itu adalah buah cinta kami yang ketiga. Sungguh karunia terbesar dariNya. Empat tahun menjadi nakhoda, Ia menitipkan tiga orang penumpang di bahtera.
Karena Hijrah itu Indah Karena Hijrah itu Indah Reviewed by Ibnu Basyier on Sunday, July 23, 2017 Rating: 5

10 comments:

  1. "Apalah arti danau luas dan pagar tinggi berduri jika ternyata tak bisa menjadi pembatas lagi. Tak ada guna himar panjang menjulur, jilbab besar dan cadar, jika hati tak bisa terhijabi."


    Ya Alloh menampar saya. Terimakasih Mas Ibnu..tulisannya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waktu nyantri dulu, kawasan putri dibatasi oleh danau luas dan pagar tinggi. Mustahil bisa meengenali orang dari seberang danau. Begitu pula tidak mungkin bisa melihat ke dalam dari sisi pagar tinggi.

      Tapi, sejak internet masuk pesantren, pembatas-pembatas itu seolah tak berarti lagi. Sebab internet mampu menembus sekat ruang dan waktu....

      Delete
  2. Barakallah untuk kisah yang penuh inspirasi ini dan untuk keluarga Bang Ibnu ... :) 🌧🍊🌧🍊🌧🍊

    ReplyDelete
  3. Barakallahu fiik mas ustadz, semoga Allah menjagamu dan keluarga..

    ReplyDelete
  4. Masyaallah...kenapa telatt baca tulisan semanis inii😍😍

    ReplyDelete
  5. Suka banget kalimat terakhirnya.

    Jazakallah kang
    terima kasih artikelnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wajazaakillahu khairan. Sama-sama. Mari saling menginspirasi...

      Delete

Terima kasih telah berkunjung. Semoga pulang membawa manfaat. Kalau ada yang tidak berkenan, tinggalkan di komentar....

ads
Powered by Blogger.