Egaliter dan Perihal Bid'ah

Mengajar dengan muta’allim yang majemuk itu harus hati-hati. Sekolah kami tempat saya mengabdi sebagai guru ngaji di Malang memang tidak menggunakan latar belakang pemahaman agama sebagai filter untuk menerima peserta didik. Sisi positifnya, ini merupakan bagian dari sikap egaliter yang memang ditekankan dalam Islam. Tapi dampaknya, pemahaman peserta didik yang beraneka warna akan membuat kita menjadi lebih berhati-hati. Bagus, sih...

Suatu sore di kegiatan halaqoh qur’an. Ini pertemuan ke sekian kalinya untuk murajaah hafalan alQur’an di semester genap. Kegiatan ini dilakukan untuk menguatkan hafalan yang telah disetorkan pada halaqoh ba’da subuh. Beberapa menit menjelang maghrib, murajaah saya stop dengan isyarat tangan. Selesai menuntaskan ayat terakhir, secara koor tanpa komando, santri menutup dengan shadaqaLlahul ‘azhim.

Menutup pertemuan, saya memberi sedikit bayan:“Diantara kesalahan yang jamak dan kerap dilakukan para pembaca alQur’an adalah selalu berusaha menutup tilawahnya dengan shadaqaLlahul ‘azhim,” terang saya memancing perhatian.

Mendengar itu, sebagian santri kaget. Sebagian lain mungkin masih mencerna kalimat. Dan, terlontarlah tanya, “Oh, iya kah, ustadz?” Wajar mereka kaget. Sebab, di pertemuan-pertemuan yang lalu, hal tersebut sudah sering mereka lakukan dan saya tidak berkomentar. 

Awal mengetahui hal ini, saya juga kaget. Karena, sudah terbiasa sedari kecil melakukan hal ini setelah mendaras kitab suci. Tapi, sebagai seorang mantan akademisi yang terbiasa ilmiah, saya segera mencari ke sumber rujukan terpercaya; benar tidaknya hal tersebut. Dan rupanya memang, dari hasil pencarian, saya tidak menemukan adanya contoh atau perintah untuk melakukan hal tersebut.

Bahwa saya baru menyampaikan hal itu kepada santri, saya tidak mengatakan itu bukan kesengajaan. Terlebih mereka juga tak bertanya kenapa baru sekarang saya ngomong demikian. Yah, inilah realitanya. Sebagai guru ngaji untuk sekolomok santri dengan latar belakang pemahaman agama (dan bahkan manhaj) yang sangat beragam, saya dituntut untuk berhati-hati dalam menyampaikan sesuatu, utamanya yang berkaitan dengan hukum-hukum. Selain itu, penyampaian itu juga diharapkan tidak menjadikan mereka shock. Cukup kaget saja. Itu masih mending. Setidaknya, dengan begitu, mereka tidak anti pati dengan dakwah.

Asy-Syaikh Shalih Fauzan bin Abdullah alFauzan pernah ditanya tentang hukum orang yang menutup tilawahnya dengan shadaqollahul ‘azhim. Beliau –hafizhahullahu- menjawab, “Tidak terdapat riwayat baik dari Nabi -shallaLlahu ‘alaihi wa sallam- maupun para sahabat –ridhwanuLlahu ‘alaihim- serta salafus shalih –rahimahumuLlahu jami’an- yang terbiasa mengucapkan kalimat ini setelah selesai membaca alQur’an." 

"Maka," lanjutnya, "terus menerus membiasakan diri membaca kalimat ‘shadaqaLlahul ‘azhim’ dan menjadikannya seolah-olah termasuk salah satu hukum dan kewajiban saat membaca alQur’an termasuk perkara bid’ah yang tidak ada keterangannya."

Nah, perhatikan jawaban Syaikh Fauzan di atas. Jawaban ini juga insyaAllah segendang sepenarian dengan ulama-ulama lainnya. Kalau saya menukil bebas jawaban seperti itu untuk disampaikan kepada santri, mungkin akan ada sikap anti pati. Maklum, bahasa bid’ah biasanya membuat sebagian orang tiba-tiba alergi. Dan itu juga berlaku bagi para santri yang punya latar belakang agama beragam warna-warni.

Untuk itu, dibutuhkan metodologi khusus dalam penyampaian bahasa kepada santri. Dalam penjelasan saya diawal, saya gunakan kalimat ‘kesalahan yang jamak dan kerap dilakukan’ sebagai pengganti bahasa bid’ah untuk mengawali pembicaraan.

Tapi nyatanya, ada ada juga yang beranggaan itu adalah bid’ah. Selesai memberikan penjelasan tambahan, seorang  santri mencoba menyela dengan pertanyaan, “Apakah itu termasuk bid’ah, ustadz?”

Wah, dalam benak saya terbayang akan menjadi berat dan luas pembahasan ini. Maka cepat-cepat saya ralat, “Maaf, saya tidak bilang ini bid’ah.” Khawatir akan memicu pembicaran bahkan perdebatan yang lebih serius. 

Lebih jauh saya menjelaskan. Bahwa lafazh shadaqaLlahul ‘azhim adalah lafazh yang benar secara makna. Bahwa memang benarlah Allah itu Maha Benar, tidak ada yang meragukan itu. Bahkan Allah sendiri yang menjelaskan dalam salah satu firman-Nya. Tetapi yang salah adalah kebiasaan kita yang selalu menutup tilawah dengan lafazh itu. Terlebih jika hal itu kita pahami sebagai sesuatu yang sunnah. Sebab ancamannya berat.

Seba’da menjelaskan hal ini, ternyata masih ada pertanyaan bingung yang terlontar, “Ustadz, bid’ah itu, apa?” “Lah, ini bakalan gak selesai halaqoh kalau begini,” betik saya dalam hati.

Sudah kepalang basah, sekalian berenang saja. Masih dengan bahasa yang dibuat sehalus mungkin, saya mencoba menjelaskan, walau rada berat.

Agama kita ini adalah agama dalil. Apa artinya? Bahwa semua jenis dan bentuk amalan dibangun atas dasar dalil; ada perintahnya dalam alQur’an dan atau ada anjurannya dalam hadits shahih. Amalan yang tidak ada landasan dalilnya adalah kesiaan dan tertolak, bahkan kebinasaan.

Nah, bid’ah, secara bahasa adalah sesuatu yang baru. Dalam pengertian bahasa ini, mobil, motor, laptop, smartphone, pesawat dan lain sebagainya adalah bid’ah. Sebab semuanya baru ada. Dulu belum ada. Kalau menurut istilah, sederhanya adalah, apa saja, dari amalan, yang tidak ada landasan dalilnya. Just it.

Ternyata, jawaban saya memicu banyak pertanyaan lain. Wah, sudahlah. Tidak hanya berenang, ini malah menyelam jadinya.

“Ustadz, kalau tahlilan, gimana?”
“Terus, kalau ziarah kubur itu, bagaimana?”
“Kalau ada orang mati, terus sebelum dikubur, keluarganya bagi-bagi makanan, bagaimana hukumnya?”
“Ustadz, kalau tukar makanan pas maulid itu, bid’ah, kah?”
“Ustadz, ... ....”
“Ustadz, ....”

Agar tak menarik pertanyaan lainnya, majelis segera saya tutup. Jika dibiarkan, akan banyak pertanyaan lain seputar masalah ini. Semoga kelak mereka bertemu dengan seseorang yang lebih paham.

“Mari kita tutup dengan do'a kafaratul majelis.”

[Hari ke-27 30DWC Jilid 4]
[Fighter Squad 8 dari Empire of Writer]
Egaliter dan Perihal Bid'ah Egaliter dan Perihal Bid'ah Reviewed by Ibnu Basyier on Monday, February 27, 2017 Rating: 5

6 comments:

  1. Wah sama ni Mas Ibnu, jika tidak ditutup shadaqaLlahul ‘azhim, ditutup dengan lafadz apa mas?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Imam AnNasai, dalam kitab haditsnya "AsSunan alKubro, meriwayatkan sebuah hadits dan memberi judul bab: [ما تُختم به تلاوة القرآن] atau "Apa yang dibaca setelah membaca alQur'an".

      Hadits itu begini lengkapnya:

      عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ : مَا جَلَسَ رَسُولُ اللهِ مَجْلِسًا قَطُّ، وَلاَ تَلاَ قُرْآناً، وَلاَ صَلَّى صَلاَةً إِلاَّ خَتَمَ ذَلِكَ بِكَلِمَاتٍ، قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَاكَ مَا تَجْلِسُ مَجْلِساً، وَلاَ تَتْلُو قُرْآنًا، وَلاَ تُصَلِّي صَلاَةً إِلاَّ خَتَمْتَ بِهَؤُلاَءِ الْكَلِمَاتِ ؟
      قَالَ: (( نَعَمْ، مَنْ قَالَ خَيْراً خُتِمَ لَهُ طَابَعٌ عَلَى ذَلِكَ الْخَيْرِ، وَمَنْ قَالَ شَرّاً كُنَّ لَهُ كَفَّارَةً: سُبْحَانَكَ [اللَّهُمَّ] وَبِحَمْدِكَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

      Menurut hadits tersebut, bacaan setelah membaca kalam Ilahi adalah :
      سُبْحَانَكَ [اللَّهُمَّ] وَبِحَمْدِكَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

      Wallahu a'lam....

      Delete
  2. Hmmm pembahasan yang menarik, Mas ...

    Idem pertanyaannya sama Mbak Wid. Heee

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini masalah khilafiyah, kok, Mbak. Ada yang bilang boleh, ada yang bilang tidak boleh. Karena, memang tidak ada hadits yang secara khusus melarangnya Dan juga tidak ada yang secara tegas memerintahkannya.

      Saya hanya mengambil pendapat yang melarang karena ketiadaan dalil yang memerintahkannya. Sebagai bentuk kehatia-hatian...

      Jawaban pertanyaannya udah di atas, ya...

      Delete
  3. Jadi ditutup pakai doa kafaratul majlis kan ya bang?

    Sip2...
    Good job bang...

    Tulisan dan pengalamannya bergizi benar

    ReplyDelete

Terima kasih telah berkunjung. Semoga pulang membawa manfaat. Kalau ada yang tidak berkenan, tinggalkan di komentar....

ads
Powered by Blogger.