Guru Ngaji di Persimpangan Literasi
Beberapa hari lalu, traveling saya di dunia maya berakhir di kompasiana. Sebuah situs cukup tua -ada sejak 2008- yang kerap dijadikan "pelarian" banyak orang untuk melepas kata. Slogan kompasiana "Beyond Blogging" diklaim bisa memberikan rasa lebih dari hanya sekedar nge-blog biasa.
Kompasiana sejatinya media netral. Sama seperi media blog lainnya seperti blogger, wordpress, tumblr, dan sebagainya. Ia bisa digunakan siapa saja yang telah memiliki akunnya. Maka kompasiana menyebut dirinya sebagai media warga. Dimana setiap kontennya adalah tanggung jawab penuh penuang kata.
Di kompasiana, saya menemukan banyak sekali kontroversi. Tebaran tulisan yang ada membuat saya gatal untuk mengomentari. Misalnya ketika seorang kompasianer menulis tentang Habib Riziq Syihab. Ia rupanya menulis dari sudut pandang seorang pendukung Ahok. Sehingga membuat saya sedikit muak dengan tulisannya yang terkesan terlalu memojokkan Habib.
Saya ingin sekali meluruskan (sesuai dengan pemahaman saya) atas apa yang ditulis di sana. Tapi kekhawatiran tanggapan saya justru akan menjadi bibit perdebatan membuat saya mengurungkan niat berkokomentar. Toh, saya pikir, pembaca rata-rata juga sudah pintar dan bisa membedakan. Walau demikian, saya sebenarnya tetap khawatir kerancuan berpikirnya akan mempengaruhi orang lain.
***
Nah, siang ini, di sebuah grup whatsapp kepenulisan yang saya ikuti, seseorang membawa sebuah link. Link itu mengarah pada sebuah cerita pendek -walau ternyata berjumlah 10 halaman A4- yang dititipkan di blogger.
"Ada yang berani baca tulisan itu?" Katanya sambil menambahkan ikon telunjuk ke atas bertanya menantang.
Sesaat kemudian, beberapa orang yang telah membacanya memberi komentarnya.
"Nekat banget tuh, cerpennya."
"Ngeri..."
"Itu vulgar, gk sih?"
"Vulgar, penulisnya hilang tak diketahui keberadaannya, yang menerbitkan di penjara."
Membaca komentar-komentar itu, saya jadi tertarik juga membaca. Saya buka di laptop. Agar lebih nyaman, saya copy ke word. Lalu, sekejap kemudian, saya tenggelam dalam kata.
Selesai satu halaman, saya lalu ikut berkomentar.
"Kalau menurut saya, dari sudut pandang seorang guru ngaji, cerpen itu terlalu vulgar, berani dan nyeleneh (kalau dikatakan sesat terlalu radikal)."
"Mengapa?" Saya mencoba memancing respon.
Rupanya ada yang tertarik dengan komentar saya. "Keren, terus, terus," katanya memantik semangat saya.
Akhirnya saya jelaskan panjang lebar. Penjelasan saya, berdasarkan pengetahuan agama saya yang sedikit. Cerpen itu memang terkesan mengolok-ngolok agama Islam. Bahkan mungkin bisa kena pasal penistaan dan penodaan terhadap agama. Maka tak heran, cerpen yang diterbitkan di sebuah majalah sastra pada tahun 1968 itu membuat redakturnya di penjara. Sedang penulisnya, konon, raib tak didengar kabarnya hingga sekarang.
***
Dua kejadian ini menggugah alam bawah sadar saya. Bahwa, betapa pentingnya orang-orang yang berilmu dan berpemahaman luas terhadap agama ini untuk tidak hanya sekedar khutbah di mimbar-mimbar dan ceramah di majelis-majelis ilmu. Itu memang penting, tapi belum cukup.
Era sekarang, orang lebih suka menghabiskan waktu berjam-jam di depan gadget. Berselancar di dunia maya. Kalau mereka membaca tulisan-tulisan nyeleneh dan menyesatkan, tentu amat berbahya. Apalagi, yang membacanya tidak memiliki pondasi agama yang memadai. Bisa-bisa pemikirannya akan terpengaruh dan menjadi rusak. Syukur-syukur kalau keyakninannya tidak berubah.
Karena itulah, orang-orang yang berpemahaman luas terhadap agama ini harus juga merambah dunia maya. Mereka harus menulis. Sebanyak-banyaknya. Agar tulisan-tulisan yang lurus semakin banyak beredar. Dengan demikian, semoga itu bisa menjadi pembanding bagi tulisan-tulisan ngawur yang sudah lebih dulu beredar.
Rasa tanggung jawab untuk meluruskan cerpen itu, membuat saya berkomentar banyak di grup kepenulisan itu siang tadi. Sampai hape saya menyisakan baterai 4 persen. Walau hanya sebagai guru ngaji dengan pemahaman agama yang secuil, alhamdulillah, 1 halaman cukup untuk membuat saya meluruskan beberapa hal.
Dan, walhamdulillah, grup menjadi interaktif. Dan beberapa orang bersyukur mendapatkan wawasan baru mengenai agamanya.
Dari dua kejadian itu (tulisan kontroversi kompasiana dan cerpen nyeleneh di grup whatsapp) saya berharap, semoga saja, Allah menguatkan saya untuk bisa istiqomah berada di persimpangan literasi (khususnya menulis) ini. Meluruskan apa yang perlu diluruskan. Membenarkan apa yang terasa keliru. Walau hanya sebatas guru ngaji dengan pemahaman yang terus harus diupgrade.
Wallahu 'alam.
[Hari ke-2 30DWC Jilid 4]
[Fighter Squad 8 dari Empire of Writer]
[Fighter Squad 8 dari Empire of Writer]
Guru Ngaji di Persimpangan Literasi
Reviewed by Ibnu Basyier
on
Thursday, February 02, 2017
Rating:
Manteb banget tulisannya juga ulasan digrup
ReplyDeleteMakasih mas ibnu
Sama-sama Mbak Wid. Saling berbagi wawasan, saling menginspirasi...
DeleteTerima kasih berkenan mampir...
Mencerahkan sekali Kang Ibnu.
ReplyDeleteLike ...
Inspiring
ReplyDelete".... yang paham agama harus juga merambah dunia maya..." - ,begitu tertulis di atas, setujuuuuuu.
ReplyDelete