Mengukur Keksatriaan Melalui Makanan

Pekan ini, materi ajar saya di mata pelajaran akhlak masuk pada bab Larangan Mencela Makanan. Sejak Senin, seperti biasa, materi sudah saya siapkan. Agar Selasa sudah siap diajarkan kepada para santri.

Pelajaran akhlak yang saya ajarkan bersumber dari sebuah kitab hadits yang merangkum hadits-hadits akhlak. Buku itu hanya berisi hadits-hadits saja. Pendek. Dan mudah dihafal.

Karena hanya kumpulan hadits, saya harus membuka kitab-kitab lain untuk mencari penjelasan terkait hadits yang akan diajarkan. Dalam hal ini, andalan saya adalah Maktabah Syamilah yang memiliki ribuan kitab yang bisa dijadikan sebagai rujukan.

Kembali ke bab Larangan Mencela Makanan.

Bab ini bersumber dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah -radhiyallahu anhu-. Melalui banyak rawi, hadits itu kemudian sampai kepada Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan sedikit perbedaan redaksi.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: ما عاب النبي صلى الله عليه Ùˆ سلم طعاما قط. كان إذا اشتهاه أكله، Ùˆ إن كرهه تركه
Redaksi hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Kurang lebih artinya sebagai berikut.

Dari Abu Hurairah -semoga Allah meridhainya-, ia berkata: "Adalah Nabi -shallallalahu alayhi wasallam- tidak pernah sama sekali mencela makanan (termasuk minuman) sedikitpun. Jika beliau menginginkannya, maka beliau akan memakannya. Kalau beliau nggak suka, beliau akan meninggalkannya".

Hadits ini adalah hadits perbuatan. Karena ini adalah perbuatan Nabi yang kemudian dinukilkan oleh sahabat Abu Hurairah. Sebagaimana jamak diketahui, ada macam hadits berdasarkan cara datangnya. Ada hadits berupa perkataan, ada yang berupa perbuatan, dan ada yang berupa pendiaman terhadap sesuatu.

Suka dan Benci Makanan

Hadits ini mengajarkan kepada kita bagaimana kita, sebagai muslim yang baik, harus bersikap jika kita menyukai dan membenci suatu hidangan. Baik makanan, maupun minuman.

Kalau kita menyukai makanan yang dihidangkan, silahkan dinikmati. Tentu tanpa lupa mengucapkan basmalah. Dan juga mengedepankan adab-adab makan. Dan kalau kita tidak suka dengan hidangan itu, apapun sebab ketidak-sukaan kita, segera tinggalkan. Cari makanan alternatif lainnya. Dan jangan lupa, kita dilarang mencela makanan tersebut.

Perlu juga dipahami, bahwa makanan, dari manapun datangnya, adalah rezeki dan nikmat dari Allah Ta'ala. Atas rezeki dan nikmat yang diberikanNya, sudah kewajiban kita untuk mensyukurinya. Bukan malah menjelekkannya. Mencela dan menjelek-jelekkan makanan adalah sifat sombong. Dan merupakan bentuk merendahkan nikmat Allah Ta'ala.

Ada beberapa hikmah kenapa kita dilarang mencelanya. Yang paling pertama adalah bahwa kita harus menjaga perasaan orang yang telah memasaknya.

Bayangkan gimana perasaan ibu, kalau anaknya mencela masakannya. Sudah dimasakkan, malah dicela. Didepannya lagi. Pasti hati ibu akan sakit. Kalaupun sakiy hatinya tidak ditampakkan, minimal hatinya tergores karena celaan tersebut.

Selain untuk menjaga perasaan yang memasak, kita juga harus menghormatinya. Memasak itu bukan perkara mudah. Ia butuh proses belajar. Juga mencoba. Masalahnya, selera tiap orang berbeda. Boleh jadi menurut yang memasak sudah pas rasanya, tapi menurut yang makan kurang pas.

Jadi, kita harus mengormati orang yang sudah memasak untuk kita. Baik di rumah sendiri, di sebuah resepsi, maupun di tempat lain seperti restoran cepat saji. Sebab memasak adalah keahlian, dan memakan adalah soal selera. Ini yang kedua.

Yang ketiga, kalaupun kita nggak suka, insya Allah ada orang lain yang suka. Jadi, jika kita nggak suka dengan suatu makanan, tinggalkan, dan jangan cela. Biarkan orang lain yang menyukainya yang akan memakannya.

Sebab ternyata, menurut penelitian (ini perlu referensi, nanti saya cari) makanan yang dicela akan berbeda dengan makanan yang dipuji. Apalagi yang dibacakan baslamah. Makanan yang dicela, akan berubah partikelnya, molekulnya. (Sekali lagi, saya hanya pernah dengar informasinya. Saya akan coba cari referensinya).

Sifat Manusia Memang Suka Mengeluh

Ketika saya membuka sesi diskusi, beberapa santri mengeluh dan mengaku kurang suka dengan beberapa jenis makanan yang disiapkan di dapur umum. Tapi yang anehnya, walaupun gak suka, dan sudah dicela, para santri tetap memakannya. Mungkin karena tidak ada alternatif lainnya. 

Ya, sekali lagi, makan memang soal selera. Dan memasak adalah keahlian. Petugas dapur umum tentu tidak bisa meladeni setiap santri dengan selera makan yang berbeda-beda. Walaupun mereka sudah ahli dalam memasak. Itu pekerjaan yang hampir mustahil. Apalagi jika jumlah santri yang ratusan jumlahnya. 

Jadi, kepada mereka, saya berpesan agar mengamalkan hadits ini. Konsekuensi dari sebuah ilmu (salah satunya) adalah pengamalannya. Kalau sudah mengetahui sesuatu, maka harus diamalkan dan dipraktekkan. Apalah arti sebuah ilmu, jika hanya menjadi pengetahuan di otak. Sudah tahu dilarang mencela makanan melalui hadits ini, maka konsekuensinya adalah mengaplikasikannya.

Sejatinya, hadits ini bisa menjadi tolak ukur ke-ksatria-an seseorang. Meninggalkan makanan yang tidak disuka tanpa mencela dan menjelek-jelekkannya adalah sikap yang rada berat untuk dilakukan. Hanya seorang yang berjiwa ksatria yang mampu melakukannya. Orang biasa, tidak akan mudah melakukannya. 

Wallahu a'lam bis shawab.

[Hari ke-1 30DWC Jilid 4]
[Fighter Squad 8 dari Empire of Writer]

Mengukur Keksatriaan Melalui Makanan Mengukur Keksatriaan Melalui Makanan Reviewed by Ibnu Basyier on Wednesday, February 01, 2017 Rating: 5

2 comments:

  1. Dapet ilmu baru...ini ikut grup bang rizky frimansyah ya??kalo ikutan masih bisa gx ya??..hehehe...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah mampir, pak.

      Iya, saya ikut. Tapi, programnya sudah berjalan. Mungkin bisa nunggu jilid 5 dibuka...

      Delete

Terima kasih telah berkunjung. Semoga pulang membawa manfaat. Kalau ada yang tidak berkenan, tinggalkan di komentar....

ads
Powered by Blogger.